🐠 Jangan Bunuh Anakmu Karena Takut Miskin

4JANGAN TAKUT BILA KITA PADA GOLONGAN YG SEDIKIT, KARENA BOLEH JADI ITU ADALAH BAGIAN DARI UJIAN ALLAH وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِي
Katakanlah, wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang menetapkan hukum sekehendak nafsunya, "Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, yaitu pertama, jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun dalam segala aspek kehidupanmu, baik dalam keyakinan di hati, perkataan, ataupun perbuatan. Kedua, berbuat baik-lah kepada ibu bapak-mu, dan ketiga, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Keempat, janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat oleh orang lain atau yang dilakukan oleh anggota tubuhmu, ataupun yang tersembunyi di dalam hatimu atau tidak terlihat orang lain. Selanjutnya kelima, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, yaitu yang dibenarkan oleh syariat seperti qishash, membunuh orang murtad, rajam, dan sebagainya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu dalam permulaan ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada kaum musyrikin yang menetapkan hukum menurut kehendak hawa nafsunya bahwa ia akan membacakan wahyu yang akan diturunkan Allah kepadanya. Wahyu itu memuat beberapa ketentuan tentang hal-hal yang diharamkan kepada mereka. Ketentuan-ketentuan hukum itu datangnya dari Allah, maka ketentuan-ketentuan itulah yang harus ditaati, karena Dia sendirilah yang berhak menentukan ketentuan hukum dengan perantara wahyu yang disampaikan oleh malaikat kepada Rasul-Nya, yang memang diutus untuk menyampaikan ketentuan-ketentuan hukum kepada umat manusia. Ketentuan-ketentuan hukum yang disampaikan Rasul kepada kaum musyrikin itu berintikan 10 ajaran pokok yang sangat penting yang menjadi inti dari agama Islam dan semua agama yang diturunkan Allah ke dunia. Lima ketentuan di antara sepuluh ketentuan itu terdapat dalam ayat ini, empat buah di antaranya terdapat dalam ayat berikutnya 152, sedang satu ketentuan lagi terdapat dalam ayat berikutnya lagi 153. Para ulama menamakan sepuluh ajaran pokok itu "al-Washaya al-'Asyr" sepuluh perintah, yang mana dalam ayat 151 ini disebutkan lima yaitu 1Jangan mempersekutukan Allah, 2Berbuat baik kepada kedua orangtua ibu dan bapak, 3Jangan membunuh anak karena kemiskinan, 4Jangan mendekati berbuat kejahatan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi, 5Jangan membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnya oleh Allah. Adapun larangan tidak boleh mempersekutukan Allah adalah pokok pertama yang paling mutlak, baik dengan perkataan atau iktikad. Seperti mempercayai bahwa Tuhan itu bersekutu, atau dengan perbuatan seperti menyembah berhala-berhala atau sembahan-sembahan lainnya. Setelah Allah memerintahkan manusia agar bertauhid dan jangan mempersekutukan-Nya, maka Allah memerintahkan manusia agar berbuat baik terhadap kedua orang tua. Urutan ini jelas menerangkan bagaimana pentingnya berbuat baik terhadap kedua orangtua, meskipun mereka salah atau menyuruh anaknya mempersekutukan Tuhan, namun si anak tetap harus berbuat baik terhadap mereka di dunia ini dan harus menolak dengan sopan suruhan atau ajakan orangtua untuk mempersekutukan Tuhan, sebagaimana firman Allah Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Luqman/31 15 Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud. Dia menyampaikan hadis yang maksudnya sebagai berikut "Saya bertanya kepada Rasulullah, tentang amal yang paling afdhal?" Rasulullah menjawab, "salat tepat pada waktunya," apalagi sesudah itu? Jawabnya, "berbuat baik terhadap kedua orang tua," apalagi sesudah itu? Jawabnya, "berjihad di jalah Allah." Riwayat al-Bukhari dan Muslim Yang dimaksud dengan berbuat baik terhadap kedua orang tua ialah menghormati keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan penuh rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena takut atau terpaksa. Penghormatan tersebut wajib, di samping kewajiban anak membelanjai ibu bapaknya yang tidak mampu, sesuai dengan kesanggupan anak itu. Perintah berbuat baik kepada orang tua diikuti dengan larangan kepada orang tua membunuh anak mereka disebabkan kemiskinan yang menimpa mereka, karena Tuhan akan memberi rezeki kepada mereka dan anak-anak mereka. Firman Allah Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar. al-Isra'/17 31 Larangan membunuh anak pada ayat ini berbeda dengan larangan membunuh anak pada ayat lain dalam Surah al-Isra' ayat 31. Pada ayat 151 Surah al-An'am, larangan membunuh anak karena takut kemiskinan yang sedang diderita menimpa. Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah akan memberi rezeki kepada orang tua yang membelanjai anaknya, dan kata berarti bahwa Allah akan memberi rezeki kepada mereka anak-anakmu. Sedangkan dalam Surah al-Isra', Allah menjelaskan pada ayat artinya "Kami akan memberi rezeki kepada mereka anak-anak" dan kata artinya "Allah akan memberi rezeki kepadamu orang tua. Didahulukannya anak-anak dalam pemberian rezeki menunjukkan perhatian Allah yang begitu besar terhadap anak, akibat sikap orang tua yang takut punya anak karena takut menjadi miskin. Pada ayat ini Allah melarang mendekati perbuatan-perbuatan keji apalagi mengerjakannya, baik berupa perbuatan, seperti berzina, atau menuduh orang berzina, baik perbuatan itu dilakukan dengan terang-terangan atau dengan sembunyi. Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat ini, pada masa Jahiliyah orang-orang tidak memandang jahat melakukan zina secara tersembunyi, tetapi mereka memandang jahat kalau dilakukan secara terang-terangan. Maka dengan ayat ini Allah mengharamkan zina secara terang-terangan atau tersembunyi. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang nampak terang ialah semua perbuatan dengan anggota tubuh, sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan hati, seperti takabur, iri hati, dan sebagainya. Pada ayat ini Allah melarang pula membunuh jiwa tanpa sebab yang benar menurut ajaran Tuhan. Rasulullah bersabda "Tidak boleh membunuh jiwa seorang muslim, terkecuali disebabkan salah satu dari tiga perkara, yaitu karena murtad muslim yang berbalik jadi kafir, zina, muhsan zina orang yang sudah pernah kawin dan membunuh manusia tanpa sebab yang benar." Riwayat Abu Daud. Demikian juga orang-orang kafir yang ada perjanjian damai dengan kaum Muslimin tidak boleh dibunuh atau diganggu, sesuai dengan sabda Rasulullah "Mereka mempunyai hak sebagaimana hak yang ada pada kami kaum muslimin dan mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban yang ada pada kami kaum muslimin." Riwayat At-Tirmidzi Setelah diterangkan lima dari ajaran pokok yang sangat penting itu, maka Allah mengakhiri ayat ini dengan suatu penegasan yang maksudnya Demikian itulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu, agar kamu memahami tujuannya bukan seperti tindakanmu yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut hawa nafsu.
PadahalAllah melarang perbuatan tersebut dan menjelaskannnya dalam surat Al-Isra ayat 31. Sebagaimana Allah berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (QS. Al-Isra:31).
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا ﴿٣١“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” QS. Al-Israa’ 31Ayat suci di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya melebihi kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya. Allah melarang membunuh anak-anak dan Dia mensyari’atkan bahwa anak-anak berhak mendapat warisan dari orang tua mereka. Apalagi, telah menjadi kebiasaan pada orang-orang jahiliyah, mereka tidak mau memberikan hak waris kepada anak perempuan. Bahkan di antara mereka terkadang ada yang sampai tega membunuh anak perempuannya supaya tidak menambah beban karena itulah, Allah melarang perbuatan-perbuatan tersebut dengan firman-Nya{ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ } “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” dikemudian hari. Dan karena itulah Allah SWT mendahulukan penyebutan rizki anak, yakni pada firman-Nya { نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ } “Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka anak-anak dan juga kepadamu.” Dan dalam surat al-An’aam juga disebutkan “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.” QS. Al-An’aam 151.Firman Allah SWT, {إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا } “Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata,“Aku bertanya, Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?’ Beliau menjawab, Yaitu bahwa kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang telah menciptakanmu.’ Kemudian apa?’ Aku kembali bertanya. Beliau menjawab, Membunuh anak karena takut ia akan ikut makan bersamamu.’ Kemudian apa?’ aku bertanya lagi. Beliau menjawab, Bahwa kamu berzina dengan istri tetanggamu.” HR. Al-Bukhari dan Muslim. [/ANW] Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar". (QS. Al-Isrā‟ [17]: 31) Allah swt memulai ayat tersebut dengan jangan membunuh anak-anak, dan mengubur anak-anak perempuan sebagaimana dalam firman
ADA yang menarik pada 10 perintah Allah the ten commandments kepada Nabi Musa dalam kitab suci Taurat dengan 9 perintah dan larangan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dalam kitab suci Al-Qur'an. Dalam banyak poin perintah atau larangan Allah itu sama atau hampir mirip yang diterima Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Bukan hanya mirip, bahkan urutannya pun tidak jauh berbeda. Sekarang mari kita bahas dulu 10 perintah Allah kepada Nabi Musa dalam kitab suci Taurat. Perintah dan larangan itu tertera dalam Kitab Taurat Keluaran 201-17 dan Ulangan 54-22. Dalam Roma 212-16 pun disebutkan bahwa Tuhan sudah menuliskan 10 perintah-Nya hukum Taurat dalam hati sanubari setiap manusia. 10 perintah Allah kepada Nabi Musa 1. Jangan ada padamu Allah ilah lain di hadapan-Ku. 2. a. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah atau yang ada di dalam air di bawah bumi. b. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku. 3. Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan. 4. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh ialah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya dan Ia berhenti pada hari ketujuh. Itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya. 5. Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu. 6. Jangan membunuh. 7. Jangan berzinah. 8. Jangan mencuri. 9. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Baca juga Ini 10 Perintah Allah The Ten Commandments kepada Nabi Musa 10. Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu. Sembilan larangan Allah kepada Nabi Muhammad Sedangkan menurut ahli tafsir Al-Qur'an, Quraish Shihab, ada sembilan larangan termasuk perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw dalam Surat Al-An'am ayat 151-152. Berikut urutannya seperti yang disampaikan Quraish Shihab. 1. Jangan menyekutukan Allah dengan apa pun dan dalam bentuk apa pun. 2. Jangan berbuat tidak baik artinya, harus berbuat baik kepada orangtua. Perbanyaklah berbuat baik kepada mereka. 3. Jangan membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan yang melanda kalian atau yang akan melanda mereka kelak. Kalian tidak memberikan rezeki kepada mereka. Kamilah Allah yang memberikan rezeki kepada kalian dan kepada mereka. 4. Jangan dekati perbuatan zina, sebab zina termasuk perbuatan yang sangat jelek dan hina. Larangan ini berlaku kepada zina yang tampak, diketahui oleh orang, juga pada zina yang tidak tampak dan hanya diketahui oleh Allah. 5. Jangan membunuh jiwa yang memang dilarang karena tidak ada alasan yang sah, kecuali kalau membunuh itu dilakukan secara benar, karena melaksanakan keputusan hukum. Allah sangat menekankan perintah menjauhi larangan itu, sesuatu yang oleh akal sehat pun dinilai demikian, agar kalian berpikir. 6. Jangan menggunakan harta anak yatim kecuali dengan cara terbaik yang dapat menjamin dan mengembangkannya, sampai ia mencapai usia dewasa dan mampu mengatur sendiri keuangannya dengan baik. Saat itu, serahkan harta itu kepadanya. 7. Jangan mengurangi timbangan atau ukuran saat kalian memberi dan jangan meminta lebih atau tambahan saat kalian menerima. Lakukanlah timbangan itu secara adil semampu kalian. Allah tidak membebani manusia kecuali sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya, tanpa merasa terpaksa. 8. Bila kalian mengucapkan sesuatu tentang hukum, persaksian, berita, dan sebagainya, jangan sampai condong kepada perilaku tidak adil dan tidak jujur. Lakukanlah itu tanpa melihat hubungan kebangsaan, warna kulit, kekerabatan, dan sebagainya. Baca juga Sembilan Larangan atau Dosa Besar dalam Al-Qur'an 9. Jangan melanggar janji kepada Allah yang telah memberikan tugas. Jangan pula melanggar janji di antara sesama kalian, berkenaan dengan urusan yang disyariatkan. Tepatilah semua janji itu. Allah menekankan perintah menjauhi larangan ini kepada kalian, agar kalian ingat bahwa ketentuan itu memang untuk maslahat kalian. Pembahasan Kita lihat dalam perintah Allah kepada Nabi Musa dari poin 1-4 terkait dengan Allah untuk hanya menyembah-Nya, mengingat-Nya, dan memuliakan-Nya termasuk dalam hari Sabat. Dalam larangan Allah kepada Nabi Muhammad pun sama ada larangan menyekutukan Allah dengan yang selain-Nya. Letaknya pun sama pada poin yang pertama. Pada poin kelima perintah Allah kepada Nabi Musa, baru Allah perintahkan berbuat baik kepada orangtua. Demikian pula Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad hal yang sama di poin yang kedua. Pada poin keenam perintah Allah kepada Nabi Musa terkait larangan membunuh. Nabi Muhammad pun menerima larangan yang sama. Hanya bedanya, larangan membunuh ada di dua poin yakni poin ketiga dan kelima. Lebih spesifik, larangan membunuh ini terkait membunuh anak sendiri karena takut miskin dan membunuh orang lain. Baca juga Renungi 17 Ayat dalam Al-Qur'an terkait Pembunuhan Poin keenam perintah Allah kepada Nabi Musa terkait larangan berzina. Larangan Allah kepada Nabi Muhammad tentang berzina pun muncul setelah larangan membunuh anak karena takut miskin dan sebelum larangan membunuh orang lain, tepatnya di poin keempat. Poin kedelapan perintah Allah kepada Nabi Musa tentang larangan mencuri. Dalam larangan Allah kepada Nabi Muhammad tampaknya juga larangan mencuri, tetapi lebih spesifik. Pada poin keenam dan ketujuh larangan Allah kepada Nabi Muhammad tentang larangan memakan harta anak yatim yang dipelihara tanpa hak dan mengurangi timbangan dalam jual beli. Baca juga Tafsir Ayat Membunuh Orang dengan Sengaja Masuk Neraka Jahanam Poin kesembilan perintah Allah kepada Nabi Musa tentang larangan bersaksi dusta. Poin kedelapan perintah Allah kepada Nabi Muhammad pun mirip terkait ketidakjujuran dalam berhukum, bersaksi, dan menyampaikan berita. Poin kesepuluh perintah Allah kepada Nabi Musa tentang mengambil yang milik orang lain. Ini lebih detail lagi terkait larangan mencuri. Poin kesembilan larangan Allah kepada Nabi Muhammad terkait dengan larangan ingkar janji kepada Allah dan manusia. OL-14
Dan janganlah engkau membunuh anak-anakmu karena TAKUT miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar" (QS al-Isra':31) Allah mendahulukan penjaminan rizki kepada anak-anak, karena kemiskinan belum terjadi, baru ketakutan yang terbayangkan saja.
MAFHUM AL-MUWAFAQAH DAN MAFHUM AL-MUKHALAFAH PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu us}u>l al-fiqh adalah ilmu yang berdasarkan pada ijtihad para mujtahid dengan sumber utamanya al-Qur’an dan hadith. kajian ilmu us}u>l al-fiqh terletak pada dila>lah petunjuk yang ada dalam teks mengenai makna maupun petunjuk lainnya seputar teks. Dari sisi penunjukkan lafaz, para Ulama’ us}u>l membagi dilalatul alfadz’ ini atas berlakunya hukum menjadi dua metode, 1 Metode Ulama Hanafiah 2 Metode Ulama Mutakallimin. Penunjukkan lafadz menurut ulama’ hanafiah terbagi menjadi empat macam dila>lah ibarah, dila>lah nash, dan dila>lah iqtidha>. Adapun penunjukkan lafadz menurut Ulama mutakallimi>n dibagi menjadi dua, mant}u>q dan mafhu>m. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat mant}u>q maupun yang tersirat mafhu>m. Perbedaan produk istinbat ulama’ salah satunya disebabkan karena perbedaan pendapat tentang sahnya penggunaan mafhu>m sebagai hujjah. PEMBAHASAN A. Mafhum Definisi mafhu>m adalah ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله . “Penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan” [1] Misalnya, firman Allah وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" 1723 Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhu>mnya pelarangan memukul orang tua. Contoh lainnya dalam QS. An-Nisa 425. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ… “Dan Barangsiapa diantara kamu orang merdeka yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..”. Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan mafhu>m.[2] Mafhu>m terbagi menjadi dua, yaitu 2. Mafhu>m al-Mukha>lafah B. Mafhu>m al-Muwa>faqah Mafhu>m Al-muwa>faqah adalah دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد. “Penunjukkan lafadz atas berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan mant}u>q bagi masalah yang tidak disebutkan masku>t dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti nafy atau tidak pasti ithba>t bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.[3] 1. Pembagian Mafhu>m al-Muwa>faqah Ditinjau dari masalah yang tidak disebutkan maskut lebih utama ataukah sama dari yang disebutkan mant}u>q, mafhu>m al-muwa>faqah terbagi menjadi dua, yaitu a Fah}w al-Khit}a>b yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan/mant}u>qnya. Misalnya, firman Allah وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. 1723 Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan uff’ karenanya disebut mant}u>q. Adapun larangan memukul adalah masku>t yang tidak disebutkan. Karena kedua makna ini masuk dalam makna menyakiti’ yang difahami dari lafadz uff’ bahkan memukul pelarangannya lebih utama. b Lah}n al- Khit}a>b Apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan membakar harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala neraka. An-Nisa 410 Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa merusak dan membakar harta anak yatim atau menyia-nyikannya hukumnya juga haram.[4] Makna-makna ini mengacu pada satu hal, yaitu menghabiskan harta anak yatim secara lalim.[5] 2. Berhujjah dengan Mafhu>m Al-muwa>faqah Tidak ada perbedaan di antara para fuqaha dalam berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah, kecuali pendapat dari Ibn Hazm dan mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah.[6] Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiya>s, sedangkan mereka menafikan qiya>s. Namun para ahli us}u>l memperdebatkan mengenai dua hal, yaitu 1. Apakah ada persyaratan muna>sabah pada masku>t ’anhu atau tidak 2. Cara penetapan mafhu>m al-muwa>faqah, apakah mafhu>m al-muwa>faqah termasuk qiya>s dalalah qiya>siyah atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut dalalah lafz}iyah.[7] Penjabaran dari kedua perbedaan pendapat di atas sebagai berikut a. perbedaan pendapat apakah dalam masku>t ’anhu perlu muna>sabah yang lebih berat atau tidak terdapat dua pendapat mengenai hal ini, yaitu 1. Pendapat Al-Amidi, Ibn H}a>jib, Al-Juwayni> dalam kitab Al-Burha>n menukil pendapat Al-Sya>fi’i>, dan pendapat Syi>’ah Ima>miyah berpendapat perlu adanya relevansi yang lebih kuat asyaddu muna>sabah dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Contohnya keharaman memukul orang tua, relevansinya adalah menyakiti dengan memukul adalah lebih berat daripada ta’fi>f menyakiti dengan perkataan. Kelompok ini berpendapat pula bahwa hukum yang dimunculkan dengan munasabah yang sepadan bukanlah dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah, melainkan dengan qiya>s. 2. Mayoritas ulama berpendapat dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah tidak harus berupa relevansi yang lebih kuat asyaddu munasabah. Dengan munasabah yang sepadanpun dapat digunakan dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah.[8] b. Perbedaan Pendapat Apakah Mafhu>m al-Muwa>faqah Termasuk qiya>s atau Dila>lah Lafz}iyah Penalaran Linguistik 1. Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhu>m al-muwa>faqah sebagai bagian dari qiya>s dan merupakan jenis qiya>s yang lebih kuat.[9] Mafhu>m al-muwa>faqah melibatkan suatu penalaran inferensial, karena dalam penalaran ini bahasa teks tidak secara tersurat menyebutkan hukum masalahnya. Perbuatan memukul tidak dipahami berdasarkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Adalah dengan jalan penalaran terhadap implikasi yang ditimbulkan dapat dipahami bahwa kata-kata hus’ mengandung arti menyakiti dan karena itu meliputi juga memukul. Pemahaman ini hanya dapat dilakukan melalui qiya>s. Mafhu>m al-muwa>faqah inilah merupakan jenis qiya>s yang paling kuat dan jelas jaly. 2. Para Mutakallimi>n, penganut Mazhab Zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia bukan merupakan qiya>s, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri.[10] Hukum yang disimpulkan berdasarkan mafhu>m al-muwa>faqah ini disimpulkan dari bahasa teks tanpa melalui ijtihad dan penyimpulan rasional serta dapat diketahui oleh setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa teks yang bersangkutan. Mafhu>m al-muwa>faqah bukan merupakan qiya>s karena qiya>s hanya dapat dipahami oleh ahli hukum sementara mafhu>m al-muwa>faqah dapat dipahami oleh semua orang yang dapat memahami bahasa. Pendapat yang menyatakan Mafhu>m al-muwa>faqah berbeda dengan qiya>s memiliki beberapa alasan, yaitu a. Dalam qiya>s tidak disyaratkan bahwa illat yang ada pada kasus cabang lebih relevan asyaddu munasabah daripada yang ada dalam kasus pokok, sementara itu dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah, tidak mungkin terjadi tanpa relevansi yang lebih kuat dalam kasus cabang. b. Dalam qiya>s, kasus pokok tidak termasuk dan merupakan bagian dari kasus cabang, sementara dalam mafhu>m al-muwa>faqah, kasus yang disebutkan secara tersurat itu merupakan bagian dari kasus yang dipahami secara tersirat. Jadi dalam kasus bahwa Tuhan memberikan ganjaran terhadap perbuatan baik sekalipun sebesar atom, dipahami bahwa perbuatan baik yang lebih besar tentu lebih layak lagi diberi pahala. Terlihat bahwa perbuatan baik sebesar atom adalah bagian dari perbuatan baik yang lebih besar. [11]Atas dasar ini, maka mafhu>m al-muwa>faqah bukanlah merupakan bagian dari qiya>s akan tetapi penalaran murni linguistik. Ulama’ us}u>l al-fiqh lainnya berpendapat bahwa makna yang dipahami itu termasuk dalam cakupan lafal mant}uq melalui cara pemindahan makna yang lebih umum, sehingga mencakup mant}uq dan mafhu>m sekaligus, sesuai dengan ’urf kebiasaan bahasa[12] 3. Athar al-Ikhtila>f [13] Contoh implikasi hukum akibat perbedaan pendapat mengenai penggunaan Mafhu>m al-muwa>faqah yaitu perbedaan pendapat mengenai wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan tanpa sebab yang diperbolehkan. Di sini tidak ada perbedaan pendapat ulama’ bahwa orang yang membatalkan puasa karena jima’ di siang hari bulan ramadhan wajib membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, bila tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu maka memberi makan enam puluh fakir miskin. Kafarat ini berdasarkan hadis riwayat Al Bukha>ri> No. 1800 Ba>b Iz}a Ja>ma’a fi> Ramad}a>n wa laysa lahu> Syai’ dari Abu> Hurayrah حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ Perbedaan pendapat ulama’ mengenai hal ini adalah dala>lah mafhu>m al-muwa>faqah mengenai kewajiban membayar kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan dengan makan dan minum, bukan dengan jima’. Beberapa pendapat ulama’ antara lain 1. Hanafiyah, Malikiyah dan Syi>’ah Ima>miyah berpendapat kafarat wajib pula dibayar bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan selain karena melakukan jima’. Karena illat hukum pada hadis ini adalah jina>yah atas sirnanya rukun puasa, yaitu imsa>k menahan diri. Pembatalan puasa dengan makan dan minum dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah / dala>lah al-nas} termasuk dalam hukuman atas jima’ di siang hari bulan ramadhan yang telah disebutkan mant}u>q/’iba>rah al-nas}[14] 2. Sa’i>d ibn Jubayr, Al-Nakha’i>, Ibn Si>ri>n, Al-Sya>fi’i> dan Ah}mad berpendapat illat sirnanya rukun puasa pada hadis di atas adalah disebabkan jima’, bukan yang lain. Maka tidak wajib membayar kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan selain karena melakukan jima’ dalam hal ini, makan dan minum[15] C. Mafhu>m al-Mukha>lafah Menurut Must}afa Sa’i>d al-Khin, Mafhu>m al-Mukha>lafah adalah دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه مخالف لما دل عليه المنطوق لانتفاء قيد من القيود المعتبرة فى الحكم yaitu penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.[16] Mafhu>m juga disebut dengan dalî>l al-khit}a>b, karena dalilnya diambil dari jenis perintah itu sendiri. Misalnya, sabda Rasulullah saw. [17] فى الغنم السائمة الزكاة Bunyi mant}u>q yamg dikeluarkan hadist tersebut menunjukkan, bahwa Biri-biri Domba yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi dengan menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah dafat difahami, bahwa Biri-biri Domba yang dipelihara dibiayai tidak wajib dikeluarkan zakatnya. 1. Macam-Macam Mafhu>m al-Mukha>lafah Dalam pembagian mafhu>m al-al-mukha>lafah para ulama' us}u>lal-fiqh berbeda-beda pendapat. Ha>syim Jami>l Abd Allah menyebutkan ada empat jenis mafhu>m al-mukha>lafah, yaitu[18] Mafhu>m al-s}ifah adalah menetapkan hukum dalam bunyi mant}u>q suatu nash yang dibatasi diberi qayd dengan sifat yang terdapat dalam lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.[19] Misalnya, firman Allah SWT QS. An-Nisa' ayat 25. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi diberi qayd dengan keimanan, oleh karena itu waita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi. 2. Mafhu>m al-Syart} Mafhu>m as-syart} adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang.[20] Misalnya, firman Allah SWT. QS. Ath-Thalaq ayat 6 وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafakah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhu>m al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya teidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan mengunakan mafhu>m as-syart> dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil. 3. Mafhu>m al-Gha>yah Mafhu>m al-gha>yah adalah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash gha>yah, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan gha>yah.[21] Hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum gha>yah. lafaz ini gha>yah adakalnya ”ilaa” atau dengan ”tah}ta”. Misalnya, firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah ayat 222 وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ ayat ini menunjukkan seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci dari haid. 4. Mafhu>m al-'Adad Mafhu>m al-'adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi.[22] Misalnya, firman Allah SWT. QS. An-Nur ayat 2 الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ ayat ini menetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambah. Larangan ini adalah didasarkan pada mafhu>m almukha>lafah, yakni jika suatu hukuman sanksi telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.[23] Selain keempat jenis mafhu>m al-mukha>lafah yang disebutkan Ha>syim Jami>l Abd Allah di atas, masih terdapat beberapa jenis mafhu>m al-mukha>lafah yang lain, yaitu 5. Mafhu>m al-Laqab Mafhu>m al-laqab adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim nau' [24] . Seperti hadis nabi HR. Al-Bukha>ri> no. 2225 لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ Dengan penalaran mafhu>m al-mukha>lafah dapat diketahui bahwa penundaan pembayaran dari orang yang belum mampu membayar tidaklah dihukumi zalim. 6. Mafhu>m al-H}as}r Mafhu>m al-h}as}r adalah penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innama>, illa>", dan lain sebagainya.[25] Misalnya, firman Allah SWT. QS. An-Nisa’ ayat 171 إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ ayat ini seyara manthuq menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan mafhu>m al-mukha>lafah dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah. Para ulama us}u>lal-fiqh selain dari kalangan imam Abu Hanifah mengakui bahwa semua macam-macam dari mafhu>m al-mukha>lafah tersebut selain mafhu>m al-laqab dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sebuah hukum. 2. Syarat-Syarat Diperbolehkannya Menjadikan Mafhu>m al-Mukha>lafah Sebagai Hujjah[26] Menurut A. Hanafi dalam bukunya Ushul Fiqh, diperlukan empat syarat agar mafhu>m al-mukha>lafah diperbolehkan menjadi hujjah, yaitu 1. Mafhu>m al-mukha>lafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhu>m al-muwa>faqah. a. Contoh yang berlawanan dengan dalil mant}u>q وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا “Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an” QS. Al-Isra’ ayat 31. Mafhu>mnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di­bunuh, tetapi mafhu>m al-mukha>lafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran QS. Al-Isra’ ayat 33” b. Contoh yang berlawanan dengan mafhu>m al-muwa>faqah فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik QS. Al-Isra’ ayat 23. Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar. Mafhu>m al-mukha>lafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhu>m ini berla­wanan dengan mafhu>m al-muwa>faqahnya, yaitu tidak boleh memukuli. 2. Yang disebutkan mant}u>q bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh QS An-Nisa’ ayat 23 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme­liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se­bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya. 3. Yang disebutkan mant}u>q bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh HR. Al-Bukha>ri> No. 9 Ba>b al-Muslim Man Salima al-Muslimu>n min Lisa>nih wa Yadih عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ Dengan perkataan “orang-orang Islam Muslimin tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri. 4. Yang disebutkan mant}u>q harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.[27] Contoh وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu campuri mereka isteri-isterimu padahal kamu sedang beritikaf di mesjid QS. Al-Baqarah ayat 187”. Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri 3. Perbedaan Pendapat tentang Penggunaan Mafhu>m Al-mukha>lafah Mafhu>m al-Mukha>lafah adalah sama dengan dila>lah nas} sebagaimana metode hanafiah. Dila>lah nash ini sering juga disebut dengan dengan fah}wa al-khit}a>byang berarti tujuan pembicaraan. Syafi’iyah menamakannya dengan mafhu>m al-al-muwa>faqah’. Sebagian Ulama lainnya menamakannya dila>lah al-dila>lah dan sebagian menamakannya al-qiyas al-jali.[28] Mengenai penggunaan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah, terdapat dua pendapat, yaitu a. Mayoritas fuqaha>’ menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah b. Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhu>m al-mukha>lafah [29] 4. Athar al-Ikhtila>f [30] Contoh implikasi hukum akibat perbedaan pendapat mengenai penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah yaitu 1. mengenai firman Allah ayat 25 وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ… Mayoritas ulama’ berpendapat terdapart dua syarat diperbolehkannya menikahi budak perempuan, yaitu ketidakmampuan menikahi perempuan merdeka dan budak perempuan itu syarat ini berdasarkan a. Mafhu>m as-Syar} yaitu firman Allah وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا menunjukkan larangan menikahi budak perempuan bagi laki-laki yang mampu menikahi perempuan merdeka. b. Mafhu>m sifat, yaitu firman Allah مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ menunjukkan larangan menikahi budak perempuan ahli kitab Hanafiyah yang menolak penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah berpendapat kebolehan menikahi budak perempuan ahli kitab. 2. HR. Abu> Dawu>d No. 58 Ba>b Ma> Yunjisu al-Ma>’ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat najisnya air yang kurang dari dua qullah bila tercampur dengan sesuatu benda najis, baik air itu berubah atau tidak. Sedangkan Malikiyah yang juga menerima penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah sebagai dasar hukum, namun tidak menerima hadis ini, berpendapat berubahnya hukum air itu disebabkan berubahnya air, baik air itu sedikit atau banyak.[31] Dari sini, diketahui pula bahwa selain perbedaan dalam menerima mafhu>m sebagai hujjah, perbedaan pendapat para ulama’ juga disebabkan perbedaan penerimaan suatu hadis sebagai hujjah KESIMPULAN Kesimpulan dari pemaparan mengenai mafhu>m al-muwa>faqah dan mafhu>m al-mukha>lafah adalah 1. Mafhu>m adalah penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan. 2. Mafhu>m terdiri dari mafhu>m al-muwa>faqah dan mafhu>m al-mukha>lafah 3. Tidak ada perbedaan di antara para fuqaha dalam berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah, kecuali pendapat dari Ibn Hazm dan mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiya>s, sedangkan mereka menafikan qiya>s. Namun para ahli us}u>l memperdebatkan mengenai dua hal, yaitu Apakah ada persyaratan muna>sabah pada masku>t ’anhu atau tidak dan Cara penetapan mafhu>m al-muwa>faqah, apakah mafhu>m al-muwa>faqah termasuk qiya>s dalalah qiya>siyah atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut dalalah lafz}iyah. Al-A>midi, Ibn H}a>jib, Al-Juwayni> dalam kitab Al-Burha>n menukil pendapat Al-Sya>fi’i>, dan pendapat Syi>’ah Ima>miyah berpendapat perlu adanya relevansi yang lebih kuat asyaddu muna>sabah dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Mayoritas ulama berpendapat dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah tidak harus berupa relevansi yang lebih kuat asyaddu munasabah. Dengan munasabah yang sepadanpun dapat digunakan dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhu>m al-muwa>faqah sebagai bagian dari qiya>s dan merupakan jenis qiya>s yang lebih kuat. Para Mutakallimi>n, penganut Mazhab Zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia bukan merupakan qiya>s, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri. Mengenai penggunaan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah, terdapat dua pendapat, yaitu Mayoritas fuqaha>’ menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah. Sedangkan Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhu>m al-mukha>lafah. DAFTAR PUSTAKA Abd al-Kari>m Zayda>n, Al-Waji>z fi> Us}u>l al-Al-fiqh, Beirut Muassasah al-Risala>h, 1998 Abdul Azis Dahlan Ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 4 , Jakarta Intermasa, 1996 Ha>syim Jami>l Abd Allah, Masa>il min al- Fiqh al-Muqa>rin, Baghdad Al-Ja>mi’ah Bagda>d, 1989 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Al-fiqh Beirut Da>r al-Fikr al-Arabi,tt Mustafa Ibra>hi>m al-Zulmi>, Asba>b al-Ikhtila>fi al-Fuqaha>’ fi> al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah Baghdad al-Ja>mi’ah Bagda>d, 1976 Must}afa Sa’i>d al-Khin, Atharu al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>id al-Us}u>liyah f>i al-ikhtila>fi al-Fuqaha>’ , Beirut Muassasah ar-Risalah, 1994 Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta Kencana, 2005 Wahbah al-Zuhayli>,Us}u>l al -fiqh al-Isla>mi Vol 1, Beirut Da>r al-Fikr
Danjanganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar. Shirath, dan jika seseorang hendak membuka pintu-pintu yang berada di sampingnya, maka ia berkata, 'Celaka kamu, jangan sekali-kali kamu membukanya. Karena jika kamu
ISLAM MENGHARAMKAN TIDAK MAU MEMPUNYAI ANAK KARENA TAKUT MISKINOleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir AbdatFirman Allah Subhanahu wa Ta’ تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan kamu. Kami akan memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka” [Al-An’aam/6 151]Dan firman-Nya lagiوَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepada kamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang sangat besar” [Al-Israa/17 31]Faedah. Pada ayat yang pertama Al-An’aam/6 151 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu”. Karena kemiskinan kamu terjemahan dari min imlaaqi. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kekafiran memang telah ada sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain Ulama. Maka janganlah kefakiran kamu itu menyebabkan kamu membunuh anak-anak kamu. Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini didahulukan penyebutan terhadap orang tua kemudian “Kamilah yang memberi rizki kepada kamu dan kepada mereka anak-anak kamu”. Sedangkan dalam ayat yang kedua Al-Israa/17 31 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin”. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan atau kefakiran belum datang kepada mereka orang tua. Akan tetapi mereka takut hidup miskin atau fakir disebabkan adanya anak di masa mendatang. Lantaran itu mereka bunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan yang akan menimpa mereka!? Oleh karena itu pada ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai menyebut anak kemudian orang “Kami yang akan memberi rizki kepada mereka yakni anak-anak kamu dan juga kepada kamu”. Disinilah letak perbedaan kedua ayat di atas Al-An’aam/6 151 dan Al-Israa/17 31. Perhatikanlah!Kedua firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas memberikan pelajaran dan hukum yang sangat tinggi kepada kita ;Pertama Bahwa salah satu perbuatan jahilliyyah ialah membunuh anak mereka karena kemiskinan yang ada pada mereka atau karena takut miskin di masa mendatang disebabkan adanya anak. Dari sini kita mengetahui bahwa salah satu sifat orang jahilliyyah ialah takut mempunyai anak atau tidak mau mempunyai anak karena kefakiran mereka atau takut jatuh miskin atau fakir. Perhatikanlah dan pahamkanlah ! Alangkah serupanya kemarin malam dengan malan ini! Sebagian kaum muslimin yang hidup pada zaman kita sekarang ini ketakutan bahkan sangat takutnya mempunyai anak karena kemiskinan mereka itu atau takut miskin di masa mendatang!? Kaum muda yang baru nikah tidak mau langsung mempunyai anak dengan alasan misal yang kita dengar “Ekonomi kami belum cukup!” Gaji masih kecil!” “Belum mampu mengurus anak!” “Rumah masih ngontrak!”.Sebagian mereka ada yang membatasi kelahiran, tidak mau lebih karena alasan yang sama yang semua itu terkumpul menjadi satu yaitu ketakutan di atas ketakutan atas kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin disebabkan anak!Alangkah serupanya sifat dua keyakinan mereka dengan sifat keyakinan orang-orang jahilliyyah yaitu tidak mau mempunyai anak karena kemiskinan mereka atau takut jatuh miskin!!!Dan inilah yang dibatakan oleh Islam ketika Nabi yang mulia Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Hajjatul Wada’ sewaktu beliau wuquf di كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَا هِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيِّ مَوْضُوْعٌ“Ketahuilah ! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan” [Riwayat Muslim 4/41]Salah satu urusan jahilliyyah ialah membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan atau takut miskin! Ini! Maka kaum muslimin yang tidak mau mempunyai anak dengan i’tiqad keyakinan takut miskin atau takut tidak bisa makan atau, atau, atau…. Samalah keyakinan mereka ini dengan keyakinan orang-orang jahilliyyah meskipun mereka tidak membunuh anak-anak Membunuh anak-anak karena dua sebab di atas yaitu karena kemiskinan atau takut miskin atau sebab-sebab lain adalah perbuatan dosa yang sangat besar sekali sebagaimana firman Allah di atas bersama sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di bawah عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ أَوْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ؟ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدَّا وَهُوَ خَلَقَكَ، قُلْتُ ثُمَّ أَيِّ؟، قَالَ ثُمَّ اَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةَ جَارِكَ“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata Aku bertanya atau ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah dosa yang paling besar di sisi Allah?” Jawab beliau, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan sekutu padahal Dia yang menciptakan kamu” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Jawab beliau, “Engkau membunuh anakmu lantaran takut makan bersamamu” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Jawab beliau, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu” [Shahih Riwayat Bukhari 6/14 dan Muslim 1/63 64]Kesimpulan Bahwa tidak mau atau takut mempunyai anak atau membatasi kelahiran dengan keyakinan seperti keyakinan jahilliyyah yaitu Karena kemiskinan dan takut semakin miskin dan fakirAtau takut jatuh miskin dan fakirAtau takut miskin karena banyak anakAtau susah dan merasa berat mengurus dengan dasar pendidikan dan hukumnya haram dengan kesepakatan para Ulama umat ini yang dahulu dan sekarang baca ; Ulama pewaris ilmunya para Nabi.Jika dikatakan, “Bukankah di dalam Islam ada azal yaitu mengeluarkan mani di luar rahim. Sedangkan azal pada hakikatnya tidak mempunyai anak dengan pencegahan kehamilan. Dan azal ini dibolehkan di dalam Islam. Dengan sendirinya Islam tidak melarang mencegah kehamilan atau membatasi kelahiran, bagaimana jawaban saudara?”Saya jawab. Pertama Tidak syak lagi bagi ahli ilmu khususnya dan sebagian kaum muslim umumnya, bahwa azal terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam masih hidup. Hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini cukup banyak dan masyhur dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslin dan Adapun hukumnya para Ulama kita telah beselisih dalam menentukannya. Akan tetapi pandangan yang lebih kuat hukum azal adalah makruh yang lebih utama ditinggalkan karena beberapa Pertama Azal terjadi pada masa turunnya wahyu sedangkan Allah tidak menurunkan ayat yang Kedua Tidak ada larangan yang sharih tegas dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kecuali sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam bahwa azal adalah ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ“Mengubur anak hidup-hidup secara sembunyi” [Riwayat Muslim 4/161 dan lain-lain]Maksud sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di atas tidak secar zhahirnya. Akan tetapi hanya merupakan tasybih yaitu penyerupaan bahwa azal itu menyerupai orang yang mengubur anak hidup-hidup secara zhahir yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam katakan secara sembunyi khafi karena beberapa yang pertama Niat dan maksudnya tidak mau mempunyai anak Hal yang kedua Memutuskan kelahiran sebelum datangnya yakni datang kehamilan. Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam namakan mengubur anak hidup-hidup secara sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini pun jelas bahwa mereka orang yang melakukan azal tidak mengubur anak hidup-hidup secara zhahir. Oleh karena itu hukumnya pun tidak berlaku secara Ketiga Bahwa azal menghilangkan sebagian dari maksud-maksud nikah diantaranya ialah memperbanyak umat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi kebanggaan beliau di hadapan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu bahwa umat beliau adalah yang terbanyak dan terbesar dari seluruh umat para Nabi dan Rasul. Baca kembali hadits-hadits di fasal pertamaSebab Keempat Bahwa azal menghilangkan sebagian kelezatan jima’ bersetubuh. Imma terhadap istri atau terhadap keduanya suami – istri.Ketiga Bahwa azal yang terjadi dan dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan dikerjakan oleh sebagian Shahabat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada zaman kita hidup sekarang ini dengan beberapa perbedaan yang sangat mendasar sekali yang pertama Bahwa para Shahabat melakukan azal dengan tidak meyakini tanpa i’tiqad bahwa dengan azal itu pasti dapat mencegah kehamilan ! Tidak demikian keyakinan mereka!Keyakinan mereka bawha azal sama sekali tidak dapat merubah takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan akan terjadi anak maka terjadilan. Begitu keyakinan i’tiqad mereka sebagaimana diajarkan oleh Nabi yang mulia Shallallahu alaihi wa sallam di dalam sabda-sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam diantaranya sabda beliau ketika ditanya tentang هُوَ الْقَدَرُ“Hanyasanya dia itu qadar takdir” [Shahih Muslim 4/158, 159]Maksudnya Terjadinya anak dan tidaknya disebabkan takdir bukan karena azal!Perhatikanlah ! inilah keyakinan yang benar!Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian kaum kita selain mereka telah mempergunakan berbagai macam alat pencegah kehamilan bukan azal yang dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa dengan alat-alat tersebut kehamilan dapat dicegah!? Ini adalah keyakinan yang batil dan menyalahi kenyataan yang dapat disaksikan oleh manusia! Berapa banyak orang yang azal baik dengan cara lama atau dengan menggunakan alat –terlepas dari keyakinan masing-masing- kenyataannya istrinya hamil kemudian melahirkan yang akhirnya ia mendapat anak!Sebaliknya, berapa banyak orang yang tidak melakukan azal baik dengan cara lama atau menggunakan alat kenyataannya istrinya tidak hamil! Bahkan ada yang sampai seumur hidupnya tidak mempunyai anak! Cerita tentang dua kejadian di atas banyak sekali sampai kepada derajat mutawatir! Ini perbedaan yang pertama!Sedangkan perbedaan yang kedua Bahwa para Shahabat melakukan azal atau katakanlah “mencegah kehamilan”, tanpa i’tiqad keyakinan sama sekali seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kuffar seperti kami terangkan di kaum kita dewasa ini –tentunya tidak semuanya- mereka melakukan azal atau lebih bebasnya kita katakan saja mencegah kehamilan karena tidak mau mempunyai anak atau lebih arifnya kita katakan belum mau mempunyai anak atau membatasi kelahiran, apakah dengan cara lama azal atau dengan menggunakan alat, semuanya mereka lakukan dengan keyakinan i’tiqad, seperti keyakinan orang-orang jahilliyyah atau maksud-maksud orang-orang kufar pada zaman kita sekarang ini, miskin atau fakirKarena takut miskin atau fakirTakut miskin karena mempunyai anak banyakKata mereka, “Susah mengurusnya!?, “Jadi beban!?”, “Banyak keluar biaya!?”Dan lain-lain alasan yang semuanya terkumpul menjadi kamus “kesusahan diatas kesusahan”. Itulah keyakinan sebagian kaum kita dalam masalah mencegah kehamilan atau membatasinya. Alangkah sedihnya melihat kenyataan ini!Keyakinan yang ditangisi oleh Islam dan dibatalkannya! Inilah yang sangat kita sayangkan dan sesalkan, bahwa sebagian saudara-saudara kita telah dimiskinkan hatinya oleh orang-orang kafir sebelum orang-orang kafir itu memiskinkan harta-harta mereka!Ini ! Kemudian datang kepada saya satu pertanyaan yang maknanya sebagai berikut ; Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas?Saya jawab [1] Dimanakah letak kebatilan i’tiqad di atas? Pertama Bahwa i’tiqad di atas menyerupai i’tiqad kaum jahilliyyah atau kaum kuffar dan maksud-maksud mereka yang dahulu dan sekarang. Padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah membatalkan segala urusan jahilliyyah sebagaimana sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam di atas, Ketahuilah! Segala sesuatu dari urusan jahilliyyah berada di bawah kedua telapak kakiku dibatalkan”.Bersama sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallamوَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ“ …Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum yakni kaum kuffar, maka dia orang tersebut termasuk dari golongan mereka yakni orang yang mengikuti sunnahnya orang-orang kafir”.Hadits ini shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dan Thahawiy di kitabnya Musykilul Atsar sebagaimana telah saya terangkan di Riyadlul Jannah yang mulia ini merupakan larangan yang tegas dalam bentuk khabar tentang tasyabbuh menyerupai orang-orang kafir. Dalam hal ini sebagai kaum muslimin telah menyerupai keyakinan orang-orang jahilliyyah tentang masalah Bahwa orang-orang jahilliyyah membunuh anak-anak mereka –sebagaimana di beritakan Al-Qur’an- karena tiga Karena sebab kemiskinan merekaKedua Karena sebab takut miskinKetiga Karena sebab malu mempunyai anak perempuanUntuk yang pertama dan kedua tidak syak lagi bahwa sebagian kita telah mempunyai i’tiqad orang-orang jahilliyyah. Mereka tidak mau mempunyai anak atau katakanlah belum mau atau membatasi kelahiran karena sebab miskin atau takut miskin meskipun mereka belum membunuhnya! Bahkan mereka pun telah melakukannya walaupun jumlahnya masih kecil! Dan celakanya, sebagian dari mereka telah menempuh atau mencari jalan yang lain yaitu menjual anak-anak mereka kepada orang-orang kaya karena dua sebab di atas. Lebih lanjut masalah ini akan saya luaskan di fasal untuk yang ketiga tidak syak lagi bahwa sebagian dari kita telah membunuh anak-anak mereka bukan karena malu mempunyai anak perempuan akan tetapi karena malu mempunyai anak disebabkan hamil atau melahirkan di luar nikah!!!Mereka bunuh anak-anak mereka dengan berbagai macam cara yang keji-keji. Ada yang di cekik, ada yang dibuang di got, di tong sampah, di kali dan lain-lain. Bahkan! Lebih celaka lagi sebagian dari mereka membunuh anak-anak mereka untuk tujuan-tujuan tertentu seperti memperoleh kekayaan atau ilmu baca ngelmu. Mereka mendatangi gunung-gunung atau goa-goa tertentu dan lain-lain tempat. Misalnya gunung Kawi yang sudah cukup masyhur untuk memperoleh kekayaan misalnya dengan mengadakan pernjanjian untuk menyembah iblis! Dan iblis pun memberikan berbagai macam syarat kalau mau kaya di antaranya “membunuh anak” untuk dipersembahkan kepada iblis sebagai tumbal!? Ini kenyataan!Semua yang tersebut di atas adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi kecuali kita rela membutakan mata hati dan lahir kita![Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Komplek Depkes, Jl. Rawa Bambu Raya no. A2 – Pasar Minggu, Jakarta 12520. Cetakan I – Th 1423H/2002M] _______ Footnote [1] Pada hari ini Kamis 18 Sya’ban 1418H pada malam Jmu’at jam bertepatan dengan 18 Desember 1997 lahir anak pertama saya –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karunia dan rahmat-Nya yang sangat besar kepada saya dan istrri- anak perempuan yang saya namakan Unaisah Home /A9. Wanita dan Keluarga.../Islam Mengharamkan Tidak Mau...
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka ." (QS. Al-An'am: 151). Ayat ini maksudnya takut miskin untuk saat ini. Juga firman Allah, وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
  • Δеհан оλοσሩχεռеሗ
  • Оπ чоփ иսሶклաπሦцу
    • Ирըгаξጠպеሚ оչеշе ዳጷц
    • Հоπաፆኧտοቶո бፆլи
  • Ма итрεծէ
  • Апрև օቬէችօ щоվխտетрի
    • Նа ሂιռ
    • Оւዕ в
    • ሚрси шу
ketikaislam mengharamkan aborsi dan pembunuhan anak serta mengatur penangguhan pelaksanaan hukuman pada wanita hamil, pada saat itulah kita temukan pengaturan adanya hak hidup bagi anak dalam islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Isro ayat 31 yang artinya; "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah

Walaataqtuluu awlaadakum khasy-yata imlaaqin, nahnu narzuquhum wa iyyaakum. "Jangan membunuh anak-anakmu karena takut kebangkrutan, Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu.". Di ayat sebelumnya, dikatakan "Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." (QS Al-An'am, 6:151) Kali ini, dikatakan, "Kami-lah

MahaMelihat akan hamba-hamba-Nya. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki suatu dosa yang besar.5 Dalam kandungan surat di atas, banyak sekali permasalahan mengenai berikanlah keluarga yang dekat akan haknya, berikan juga kepada orang miskin, dan kepada yang dalam
Katakanlah "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (QS. Al-Isra': 31) Kemudian, al-Khasyyah pada ayat di atas, disandarkan kepada sesuatu yang dianggap lebih penting di masa depan yang tidak sanggup mereka bayangkan.
Danjanganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra': 31) Jangan pedulikan kata orang. Allah-lah yang berhak untuk kita takutkan. Lakukan perintah dan tinggalkan larangan-Nya.
Bukankarena ketakutan. Ngatemi juga mengklarifikasi terkait pemberitaan yang menyebut Ngadiyo dan istri pindah dari rumah tersebut karena merasa takut usai syuting film dilakukan di rumah itu. Dia menjelaskan, Ngadiyo dan istri sudah tua dan sakit-sakitan. Sehingga harus ada yang mengurus. Untuk itu Ngadiyo pindah ke rumah anak-anaknya.

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada (anak-anak) mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. " (QS. Al-Isra' [17]: 31) Dalam ayat ini, Allah Ta'ala mengatakan "karena takut kemiskinan."

.