🐷 Perbedaan Gereja Perdana Dan Gereja Masa Kini

Jawaban4.2 /5 306 prinzyeol08 gereja perdana yaitu membagi-bagikan,memecah-mecahkan roti. lalu gereja sekarang mengikuti tradisi dari gereja perdana yang diturunkan kepada gereja sekarang. bedanya,gereja sekarang memecah-mecakan roti dan di sebut perayaan ekaristi ah benar gak kasih aku like juga lah gak benar
ArticlePDF Available AbstractThe relationship between evangelism and social care is a hot topic that is still being debated. Some argue that the Church should only work on evangelism, that is, on eternal salvation spiritual matters, not on social issues. Others are of the view that working on social issues is a means for the purpose of evangelizing. By using a descriptive qualitative approach, this article is intended firstly to show that the mission of the Church is an integrative-holistic mission covering the field of evangelism and social service. The two are united in Missio Dei. Second, in order to attract reflections for churches everywhere, it is necessary to reconstruct the paradigm and implementation of the Church's mission in the present. The results of the discussion conclude that the Church's mission should be integrative-holistic. This means that the Church does not separate dualism between evangelism and social care. The integrative-holistic mission is considered very relevant and needed as an answer to bring the gospel of Jesus Christ into reality and at the same time can alleviate the problems or conditions of the society in which the Church is located. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Copyright© 2021 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 105 ISSN Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi Gereja di Indonesia Masa Kini Kalis Stevanus Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu, Jawa Tengah kalisstevanus91 Abstract The relationship between evangelism and social care is a hot topic that is still being discussed. There are those who argue that the church should only work on evangelism, which is about eternal salvation spiritual field only, not on social issues. There are also those who view working on social issues as a means to the end of evangelism. By using a descriptive qualitative approach, this article has two purposes. First, to show that the church's mission is an integrative-holistic mission covering the field of evangelism as well as social service; they are one unit in the Missio Dei-Christi. Second, to draw reflections for churches everywhere, it is necessary to recon-struct the paradigm and implement the church's mission in the present. The results of the discussion conclude that the church's mission should be holistic-integrative. That is, the church does not separate dualism between evangelism and social care. The integrative-holistic mission is considered to be very relevant and needed as an answer to make the gospel of Jesus Christ a reality, and at the same time it can solve problems or conditions in the community where the church is existed. Keywords church’s mission; evangelism; integrative-holistic mission; missio Dei Abstrak Hubungan antara pekabaran Injil dan kepedulian sosial merupakan topik yang hangat hingga kini masih didiskusikan. Ada yang berpendapat bahwa gereja seharusnya hanya menger-jakan pekabaran Injil, yaitu perihal keselamatan kekal bidang rohani saja, bukan pada isu-isu sosial. Ada juga yang berpandangan bahwa mengerjakan isu-isu sosial itu sebagai sarana bagi tujuan pekabaran Injil. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, atikel ini dimak-sudkan pada dua hal. Pertama, untuk memperlihatkan bahwa misi gereja adalah misi integratif-holistik meliputi bidang pekabaran Injil dan juga pelayanan sosial; keduanya merupakan satu kesatuan dalam Missio Dei-Christi. Kedua, untuk menarik refleksi bagi gereja-gereja di manapun berada, perlunya melakukan rekonstruksi paradigma dan implementasi misi gereja di masa sekarang. Hasil bahasan memberi simpulan bahwa semestinya misi gereja bersifat integratif-holistic. Maksudnya, gereja tidak memisahkan dualisme antara pekabaran Injil dan kepeduli-an sosial. Misi integratif-holistik dianggap sangat relevan dan dibutuhkan sebagai jawaban untuk mewujudkan Injil Yesus Kristus menjadi realitas, dan sekaligus dapat mengentaskan persoalan atau kondisi masyarakat di mana gereja berada. Kata kunci misi gereja; misi integratif-holistik; missio Dei; penginjilan PENDAHULUAN Sejarah mencatat pada abad XX kaum Evangelikal banyak yang telah kehilangan perspektif Alkitab dan membatasi diri hanya pada pekabaran Injil tentang keselamatan pribadi tanpa keterlibatan yang cukup dalam tanggung jawab sosial. Ketika Liberalisme teologi dan Humanisme menyerbu gereja-gereja Protestan, dan mengumumkan suatu “Injil sosial”, berkembang keyakinan di antara kaum Evangelikal bahwa ada sebuah e-ISSN 2722-8215 p-ISSN 2477-1373 Volume 7, No 2, Juni 2021 105-115 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 106 antitesis antara keterlibatan sosial dan pekabaran Injil. Namun, sekarang kaum Evangelikal semakin yakin bahwa mereka harus melibatkan diri di dalam masalah-masalah sosial yang dihadapi manusia tanpa “mengecilkan” prioritas pekabaran Injil tentang keselamatan individu. Mereka prihatin akan kebutuhan manusia yang seutuh-nya karena teladan Yesus Kristus, kasih-Nya yang mendorong, dan tantangan dari wa-risan Injili mereka. Terkait hubungan antara penginjilan dan isu-isu sosial, Stevri Lumintang mengu-tip salah satu dari empat harapan Billy Graham, dalam acara pembukaan konsultasi misi Internasional sedunia di Lausanne, Switzerland tahun 1974, yang menetapkan hu-bungan antara penginjilan dan tanggung jawab kaum Evangelikal kini mulai memandang misi secara integratif dan holistik. Misi bukan hanya dipahami sebagai penginjilan keselamatan individu dan pertumbuhan gereja, melainkan juga misi adalah tanggung jawab sosial, yaitu sebagai upaya terlibat dalam berbagai per-soalan sosial dan kemanusiaan yang diawali oleh usaha penginjilan. Krisis yang dialami gereja pada masa kini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan penting-nya suatu usaha membangun kembali pemahaman misi gereja. Menurutnya usaha untuk membangun kembali konsep dan pemahanan mengenai misi menjadi relevan, karena misi gereja saat ini sedang mengalami semacam krisis. Banyak Gereja terpe-rangkap dalam sikap eksklusif dan hidup untuk dirinya sendiri saja, dengan kesibukan-kesibukan di/ke dalam, untuk kepentingan anggota-anggotanya tanpa keterlibatan yang cukup dalam tanggung jawab konteks di Indonesia kenyataan semangat eksklusif usaha Pekabaran Injil ini dilaksanakan tidak mempertimbangkan konteks masyarakat Indonesia. Konteks Indonesia yang pluralis dan diwarnai dengan pelbagai masalah seperti kemiskinan be-lum mendapat tempat dan perhatian dalam pemahaman dan semangat “misi eksklusif”, yang diwarisi gereja-gereja Indonesia. Bila sikap dan semangat yang eksklusif itu tetap dipertahankan, maka misi gereja di Indonesia dapat dikatakan sedang dalam krisis. Paling tidak krisis dalam pemahaman yang pada gilirannya sangat memengaruhi pelaksanaan misi gereja. Padahal, tampak jelas dari teladan dari pelayanan Tuhan Yesus yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, bukan sekadar misi eksklusif me-lainkan sudah cukup banyak gereja di Indonesia yang menerapkan misi integratif. Namun, sepertinya usaha tersebut perlu ditingkatkan dan diintensifkan Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Sedunia Jakarta BPK Gunung Mulia, 2012,198. Stevri Lumintang, Misiologia Kontemporer Batu Malang YPPII, 2006,25 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia Yogjakarta Taman Pustaka Kristen, 2008,5 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2008, 8 Yang dimaksudkan misi eksklusif adalah usaha misi yang hanya menekankan Pekabaran Injil dengan tujuan pertambahan jumlah orang Kristen. Kalis Stevanus, "Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”, Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 2 2018 284–298. Kalis Stevanus dan Yunianto, “Misi Gereja Dalam Realitas Sosial Indonesia Masa Kini,” HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen no. 1 2021 55–67. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 107 guna mewujudnyatakan Injil dalam realitas. Gereja hadir menjadi garam dan terang di tengah-tengah masyarakat. Situasi pluralis di Indonesia juga seharusnya mendorong gereja-gereja menguji ulang pemahaman dan sikap missionernya. Gereja di Indonesia harus menghadapi kenyataan dan bergaul dengan orang-orang beragama lain dalam jumlah yang makin berkembang. Dan juga menghadapi maraknya sikap intoleransi dan kekerasan anar-kis. Selain itu juga, dalam bidang sosial-ekonomi, terjadinya kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Arifianto dan Stevanus menyatakan bahwa kenyataan ini “harus” mengubah paradigma dan praktik misi Kristen dari gereja di Indonesia. Menghadapi situasi seperti sekarang ini, dalam situasi pandemi Covid-19, gereja dipanggil untuk menjadi berkat dan kesaksian bagi dunia, sebab gereja adalah terang dan garam dunia Mat. 513-16. Dengan demikian, gereja seharusnya meman-dang pendemi Covid-19 bukan sebagai penghalang misi gereja, sebaliknya sebagai “peluang” untuk menerapkan misi Allah untuk menjangkau mereka yang menderita dengan memerhatikan situasi sosial di tengah di Indonesia dan misinya tidak dapat berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Misi Gereja juga ditantang untuk dipahami secara baru dalam konteks sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Bagaimana menunaikan tugas panggilan misi dari Tuhan dalam konteks Indonesia? Gereja-gereja di Indonesia perlu mengenali dan berminat untuk memandang misi secara kontekstual. Mungkin tidak semua Gereja, tapi sebagian besar Gereja di Indonesia masih melihat dan memahami Gereja sebagai lem-baga kerohanian saja yang tidak perlu mengurusi soal-soal “duniawi”, umpamanya masalah-masalah sosial, ekonomi, korupsi, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagaianya. Nampak pemisahan antara yang rohani dan yang jasmani atau duniawi serta segala implikasinya sehingga telah menumbuhkan misi eksklusif di mana Gereja hanya berurusan dengan soal-soal rohani saja. Ini merupakan salah satu sumber krisis dalam pemahaman dan praktek misi. Caspersz, sebagaimana dikutip Woga, menegaskan bahwa pemisahan total kehi-dupan rohani religious dari urusan-urusan duniawi bertentangan dengan eksistensi manusia yang multidimensional, yang temporal kodrati/sekular dan trans-temporal adikodrati, dan karenanya merongrong keseimbangan hidup serta keberadaan ma-nusia dan yang sama diutarakan oleh Lumintang, bahwa penekanan pada salah satu sisi, pasti membuahkan pemikiran yang sempit dan berat sebelah, yaitu Kalis Stevanus, “Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menurut Lukas 1025-37 Sebagai Upaya Pencegahan Konflik,” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, no. 1 2020 1–13. Yonatan Alex Arifianto and Kalis Stevanus, “Membangun Kerukunan Antarumat Beragama Dan Implikasinya Bagi Misi Kristen,” HUPERETES Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 2020 39–51. Yonatan Alex Arifianto; Sari Saptorini dan Kalis Stevanus, “Pentingnya Peran Media Sosial Dalam Pelaksanaan Misi Di Masa Pandemi Covid-19,” HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, no. 2 2020 86–104. Edmund Woga, Misi, Misiologi, Dan Evangelisasi Di Indonesia Yogyakarta penerbit Kanisius, 2009,184 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 108 misi yang tidak relevan dengan kebutuhan dunia. Inilah persoalan misiologi pada masa kini, yaitu mempertemukan secara integratif antara teks, konteks dan yang berat sebelah atau dualisme ini sangat tidak relevan dalam konteks Indonesia. Gereja menjadi alergi dan tidak mau berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan sebagainya karena menganggap semua itu bukan urusan gereja. Bila gereja menyuarakan pandangan berkaitan dengan ketidakadilan, HAM, korupsi, dan masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi di sekitarnya, maka Gereja semacam itu akan dianggap “keluar dari panggilannya”. Penulis menyebut ini sebagai krisis misi intern. Gejala ini dalam intern gereja nampak dalam praktek misi yang hanya berurusan dengan soal-soal rohani saja, yaitu memenangkan jiwa, atau dengan kata la-in, misi dengan arah “mengkristenkan” Indonesia. Pemahaman misi yang kurang memerhatikan konteks sosial di mana gereja hadir, hal ini justru sangat melemahkan posisi dan peranan gereja di Indonesia. Itu sebabnya pemahaman misi gereja masa kini harus diubah menjadi misi Kerajaan Allah yang mempunyai cakupan luas, yakni meliputi semua bidang kehidupan manusia atau holistik. Sebab itu, gereja tidak boleh melalaikan peran aktifnya di bidang sosial, sehingga memberikan pengaruhnya yang positif terang dan garam dalam kehidupan sosial di masyarakat. Terkadang gereja atau orang Kristen secara salah memahami misi gereja hanya berkenaan dengan kerohanian personal dan tidak berkenaan dengan kehidupan sekular, sehingga tidak merasa berkewajiban untuk memikirkan tanggung jawab sosialnya. Sejatinya misi gereja terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang sosial. Itu sebabnya gereja tidak bisa tidak memerhatikan dan meng-usahakan kehidupan sosial yang lebih baik bagi masyarakat di mana Gereja berada. Pelayanan secara komprehensif, yakni pelayanan holistik, sangat relevan dan di-butuhkan sebagai jawaban untuk mewujudkan Injil Kerajaan Allah menjadi realitas dan sekaligus dapat mengentaskan persoalan atau kesulitan-kesulitan kehidupan yang dia-lami masyarakat di mana gereja berada saat ini. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa misi integratif yang sifatnya holistic merupakan dimensi pelayanan misi gereja yang perlu dilakukan. Tidak cukup dengan doa; artinya, segala pergumulan jemaat mau-pun masyarakat, tidak cukup diatasi hanya dengan didoakan. Membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi dibutuhkan tindakan lain selain doa, yaitu pelayanan holistik yang akan membawa sejahtera dalam kehidupan individu maupun masyarakat, sehingga terwujudlah peradaban shalom. Karena selama ini misi yang dilakukan gereja pada umumnya masih bersifat dualisme dan bukan suatu keutuhan holistik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pentingnya perubahan para-digma dan praktik misi gereja, khususnya di Indonesia. Misi gereja harus tetap dila-kukan sebagai bentuk ketaatan pada Amanat Agung Kristus. Namun dalam praktik Lumintang, Misiologia Kontemporer, 44 Stevanus, “"Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”.” Istilah “sekular" berasal dari bahasa Latin “saeculum” yang berarti dunia. Kata sifat dari “saeculum” adalah kata “sekular” Latin saecularis yang artinya bersifat duniawi. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 109 pelaksanan misi harus memerhatikan situasi sosial di tengah masyarakat di mana ge-reja berada, sehingga Injil dapat diterima sesuai konteks kekinian pendengarnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatit deskriptif dengan metode pustaka. Metode pustaka untuk menjawab permasalahan penelitian dengan mencari sumber-sumber literatur yang relevan dengan topik bahasan tentang misi gereja masa kini. Data-data tersebut dianalisis dengan mencermati beberapa teks Alkitab, dan kemudian mendeskripsikan hasil analisis tersebut secara naratif. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini akan dipaparkan pokok-pokok penting untuk menjawab tujuan penulisan, yaitu Pertama, mengemukakan landasan teologis misi Kristen; kedua, men-jelaskan suatu kenyataan adanya pergeseran paradigma misi gereja di masa sekarang; ketiga, merefleksikannya bagi gereja masa kini. Landasan Teologis Misi Kristen Sesudah kebangkitan, sebelum naik ke surga, Tuhan Yesus memberi perintah agar para murid-Nya memberitakan Injil kepada semua suku bangsa Mat. 2819-20. Roh Kudus diberikan kepada semua murid-Nya dan memberi mereka kuasa untuk menjadi saksi Kristus di mana pun mereka berada Kis. 18 sampai ke ujung bumi Mat. 2414.Alkitab secara gamblang menyatakan bahwa semua orang percaya diberi “mandat” untuk melaksanakan Pekabaran Injil kepada semua bangsa. Mandat ini sering disebut sebagai Amanat Agung Mat. 2818-20; Mrk. 1615; Luk. 2447; Yoh. 2021; Kis. 18. Semua orang percaya, tanpa kecuali, dipanggil untuk menaati perintah misioner menjelaskan kata “pergilah” poreuthentes di dalam perintah Matius 2819 itu memiliki arti berangkatlah atau pergi meninggalkan, melintasi batas sosial, rasial, kultural, ini berarti misi Tuhan Yesus adalah misi yang sifatnya inklusif, artinya terbuka untuk semua orang tanpa mengenal latar belakang ini juga dikemukan oleh David Bosch, bahwa sifat misi Tuhan Yesus adalah inklusif. Misi-Nya adalah misi yang melenyapkan keterasingan dan menghancurkan tembok-tembok kebencian, misi yang melintasi batas-batas antara individu dan demikian, sangat jelas bahwa amanat Tuhan Yesus adalah kesaksian. Dan kesaksian itu tidak dibatasi hanya untuk Israel, melainkan diberitakan ke seluruh dunia. Dan kuasa yang diperlukan untuk itu bukan kuasa militer atau politik melainkan kuasa Roh Kudus! Gereja diutus untuk mengundang orang dari semua suku dan bangsa agar Kalis Stevanus, Panggilan Teragung Pedoman Dan Metoda Praktis Untuk Memberitakan Kabar Baik Sampai Ke Ujung Bumi Yogyakarta Andi Offset, 2019,79. Kalis Stevanus, “Karya Kristus Sebagai Dasar Penginjilan Di Dunia Non-Kristen,” Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 1 2020 1–19. Susanto Dwiraharjo, “Kajian Eksegetikal Amanat Agung Menurut Matius 28  18-20,” Jurnal Teologi Gracia Deo 1, no. 2 2019 56–73, Lumintang, Misiologia Kontemporer, 113 David Bosch, Transformasi Misi Kristen Jakarta BPK Gunung Mulia, 2006,41 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 110 menjadi murid Tuhan Yesus Mat. 2819. Menjadikan murid, artinya menjadikan semua orang di mana pun mereka berada dan siapa pun mereka untuk mengikuti menyatakan, sebenarnya sebelum Amanat Agung di dalam Matius pasal 28, telah ada kontak antara Tuhan Yesus dan bangsa-bangsa lain. Juga sebelum kebang-kitan-Nya, menjadi jelas bahwa maksud tujuan Allah meliputi segala bangsa. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Lama, di mana Abraham dipilih untuk menjadi berkat bagi segala bangsa Kej. 121-3. Dalam kehidupan Tuhan Yesus, perspektif ini nyata, di ma-na titik tolak pelayanan Tuhan Yesus disebut kota Kapernaum, yang terletak di “Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain” Mat. 413-16. Galilea adalah merupakan daerah Yahudi, tetapi bukan pusat daerah Yahudi seperti daerah Yudea dengan kota Yerusalem. Galilea dekat dengan daerah bangsa-bangsa yang bukan Yahudi. Kapernaum dan Galilea digambarkan oleh Matius sebagai tempat yang terbuka bagi manusia dari bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dan sesudah kebangkitan-Nya, terbukalah jalan bagi segala bangsa untuk menjadi bagian dari umat Allah Mat. 2818-20. Dengan demikian terpe-nuhilah pengharapan akan keselamatan bagi bangsa-bangsa seperti yang dinubuatkan oleh para nabi Yes. 22-3; bdk. Mi. 41-2; Za. 822-23.Tuhan Yesus, menurut Injil Sinoptik, memiliki perhatian yang cukup besar terha-dap misi kepada dunia bangsa-bangsa bukan Yahudi. Perhatian itu Ia wujudkan tidak hanya dengan memberitakan Injil Kerajaan Allah dan melakukan mujizat bagi orang-orang bukan Yahudi yang datang kepada-Nya, tetapi lebih dari itu Ia menyeberangi daerah Palestina dan memasuki daerah bangsa kafir untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah. Menurut Stevanus hal ini juga hendak menyatakan bahwa misi Tuhan Yesus datang ke dunia membawa keselamatan bagi semua bangsa. Ia adalah Juruselamat bagi semua orang dan yakni seluruh umat Tuhan, dipanggil untuk mene-ruskan perintah misioner memberitakan Kabar Baik sampai kepada kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Rekonstruksi Paradigma Misi Gereja Masa Kini dalam Konteks Indonesia Krisis dalam pemahaman dan praktek misi gereja yang penulis kemukakan secara singkat di atas merupakan titik tolak atau pijakan untuk secara kritis menemukan kem-bali pemahaman teologi mengenai misi gereja atau teologi misi yang relevan di Indo-nesia. Pemahaman misi gereja dari warisan masa lalu itu perlu direkonstruksi menjadi pemahaman baru misi baru yang kontekstual. Pembahasan ini merupakan kontribusi pemikiran teologis dan praktis dalam rangka rekonstruksi misi gereja di Indonesia yang dilakukan dalam suatu paradigma tertentu. Paradigma itu adalah paradigma misi yang relevan dengan konteks Indonesia. Sebuah tugas krusial bagi gereja di masa kini adalah menguji terus-menerus, apa-kah pemahamannya, atau paradigma tentang misi sesuai dengan konteksnya, di mana gereja itu hadir. Apa yang harus gereja lakukan adalah menetapkan apa arti misi, dan kemudian pada saat yang sama mendefinisikan praktik misioner atau mengaplikasikan konsep misi tersebut secara langsung di dalam situasi konkret sekarang. Sebagaimana Kalis Stevanus, Benarkah Injil Untuk Semua Orang? Yogyakarta Diandra Kreatif, 2017. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001,248 Kalis Stevanus, Lihatlah Sang Juruselamat Dunia Yogyakarta Diandra Kreatif, 2018, 13 Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 111 dikatakan oleh Artanto bahwa paradigma misi memengaruhi dan menentukan praktik misioner. Sebagai rumusan dari Thomas Kuhn yang kemudian dirumuskan dengan lebih singkat oleh Hans Kung, sebagaimana dikutip Artanto, paradigma misi dapat dirumus-kan sebagai model interpretasi dan pemahaman yang memengaruhi, bahkan menen-tukan keyakinan, dan nilai, serta teknik-teknik misi gereja yang dipahami oleh gereja-gereja sebagai suatu komunitas dalam era tertentu. Perubahan dan pergeseran misi gereja sangat ditentukan oleh perubahan dan pergeseran paradigma teologi Mempelajari pergeseran paradigma misi akan membantu usaha memahami bagai-mana gereja memahami dan melaksanakan misi dalam pelbagai era dalam konteks yang berubah-rubah. Selain hal itu, juga akan menolong gereja pada masa kini untuk memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana gereja pada masa kini harus memberi arti atau mengintrepretasikan misi pada masa kini dalam situasi konkret. Perbedaan itu terjadi karena masing-masing era melakukan refleksi teologis dengan paradigma yang telah bergeser dari paradigma yang digunakan oleh era sebe-lumnya. Paradigma misi seyogyianya terus diperbarui atau direkonstruksi untuk mengha-dapi konteks baru dan era baru. David Bosch menguraikan berbagai paradigma yang muncul belakangan dalam teologi misi, tentang paradigma misi gereja yang bagaima-nakah yang tepat atau relevan dengan konteks pada abad ke-21? Dikatakan oleh Anne Ruck, bahwa selama abad ke-20 misi Kristen telah diartikan kembali secara mendalam, sehingga pertanyaan Bosch tersebut menemukan jawaban dari sudut pandang abad ke-21 yang jauh berbeda dari konteks seratus tahun lalu. Dalam terang ini tantangan untuk memelajari misi dapat digambarkan dalam kata-kata van Engelen yang dikutip Bosch, misi dipahami sebagai usaha untuk menghubungkan peristiwa Yesus yang selalu relevan dari dua puluh abad yang lalu dengan pemerintahan yang dijanjikan Allah melalui inisiatif-inisitiaf yang bermakna untuk masa kini dan di dengan gereja-gereja Indonesia di masa sekarang? Dikatakan oleh Ruck, justru di abad ke-21 ini umat Kristen di Indonesia semakin tersingkir, tertindas, dan terancam. Bagaimana merespons situasi seperti ini? Bagaimanakah seharusnya gereja di Indonesia bersaksi dan bermisi dalam konteks Indonesia masa kini yang begi-tu majemuk dan terus berubah, dan yang harus menghadapi berbagai tantangan seperti bencana alam, kemiskinan, korupsi, konflik, dan kekerasan serta mengemukanya gejala intoleransi? Menghadapi situasi seperti itu, tidak ada cara lain selain memahami kembali konsep misi dan praktik misi yang sesuai di Indonesia sekarang. Itu sebabnya gereja-gereja di Indonesia pun harus perlunya melakukan rekonstruksi misi sebab pemahaman misi yang lama kemudian menjadi tidak relevan dalam konteks Indonesia sekarang ini. Pemahaman misi harus bersifat dinamis dan terbuka untuk dikoreksi atau mengalami rekonstruksi kembali, sehingga dihasilkan suatu pemahaman misi gereja Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Bosch, Transformasi Misi Dkk. Anne Ruck, Jemaat Misioner Jakarta Bina kasih/OMF, 2011,25 Bosch, Transformasi Misi Kristen, 35 Anne Ruck, Jemaat Misioner, 92 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 112 yang relevan dibutuhkan di tengah-tengah pluralitas intern gereja di Indonesia, dan juga di tengah pluralitas agama dan kebudayaan serta situasi kemiskinan yang men-colok di Indonesia. Benar apa yang dikatakan Artanto untuk konteks Indonesia, yang perlu mengem-bangkan pemahaman misi gereja dalam paradigma ekumenis, di mana gereja harus semakin terlibat dalam pengembangan manusia dan masyarakat yang seutuhnya. Pemahaman misi gereja dalam paradigma ekumenis merupakan “pertanggungjawaban” gereja-gereja Indonesia terhadap masyarakat dan bangsanya sendiri. Itu sebabnya, misi gereja tidak boleh mengabaikan konteks Indonesia dan kepentingan seluruh masya-rakat di Indonesia. Misi gereja sekarang dituntut untuk menyapa masalah masyarakat masa kini dengan segala pergumulan dan tantangan yang ada. Apakah gereja akan memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang ada? Apakah gereja sadar akan panggilannya supaya menjadi garam dan terang serta menjadi saluran berkat Tuhan kepada dunia? Misi yang konkret dan menyeluruh holistik misalnya berfokus pada pelayanan sosial-ekonomi dan pengembangan masyarakat sangatlah penting. Misi integratif, termasuk pelayanan sosial-ekonomi-keadilan dan juga pekabaran Injil keselamatan individu merupakan jawaban untuk konteks Indonesia masa kini. Petrus Octavianus mengemukakan, bahwa pelayanan holistik tidak hanya berusa-ha menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka sekarang ini. Jadi, pelayanan sosial pengembangan masyarakat itu juga merupakan bagian dari misi Kristen karena gereja diutus untuk melakukan hal-hal tersebut. Inilah misi yang sesungguhnya. Dari uraian ini, dapat disimpulkan peran gereja dalam pelaksanaan Missio Dei, bahwa hakikat misi gereja harus senantiasa melihat misinya terdiri dari tiga unsur utama. Pertama, prok-lamasi; gereja terpanggil untuk memproklamasikan Yesus Kristus kepada dunia. Kedua adalah kesaksian; gereja terpanggil untuk hidup seperti Kristus di dunia. Ketiga ialah pelayanan; gereja terpanggil melayani dan menjalankan aksi sosial dengan dasar kasih Kristus kepada dunia. Sejajar dengan itu, Mangunwijaya mengatakan bahwa gereja missioner di Indonesia harus didasari bahwa iman, pengharapan, dan kasih bukan hanya berlaku di dalam internal gerejawi, melainkan harus berdimensi luas menyentuh sendi-sendi kehi-dupan masyarakat secara konkret dan Pasaribu menegaskan, bahwa dengan melaksanakan misi integratif ini akan membawa gereja kepada pelayanan yang kokoh dan terintegrasi, dengan memproklamasikan kabar baik, dan sekaligus menun-jukkan kasih Allah secara konkret dalam pergumulan bangsa dan dunia. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia dalam rangka melaksanakan misi Allah tersebut? Gereja terpanggil untuk terlibat dalam menggumuli isu-isu sosial di Petrus Octavianus, Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah Batu Malang YPPII, 1985,34-35 Mangunwijaya, “Pengantar”, Dalam Kepedulian Sosial Gereja, R. Dopo Yogjakarta Kanisius, 1993,ix Dkk Ria Pasaribu, Jemaat Misioner Jakarta Bina kasih/OMF, 2011,313. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 113 tengah masyarakat di mana gereja hadir di situ. Keterlibatan itu termasuk dalam rangka misi mewujudkan Kerajaan Allah di bumi, tanpa mengecilkan prioritas pemberitaan Injil tentang keselamatan individu. Stevanus menyatakan bahwa motivasi misi Kristen bukan hanya menyelamatkan individu atau menambah jumlah anggota gereja, melain-kan untuk mewujudkan Kerajaan yang tidak mengandung aspek proklamasi Injil berarti misi tersebut telah be-rubah dan bergeser dari Missio Dei-Christi. Misi yang demikian telah kehilangan satu unsur yang esensial dan tidak lebih dari aksi sosial, seperti yang dilakukan oleh banyak lembaga sosial di dunia. Misi menjadi sekadar suatu usaha kepedulian sosial semata di mana lembaga sosial dunia bisa melakukannya. Tetapi Missio Dei-Christi dilakukan oleh lembaga Gereja saja sebab hanya Gereja yang diberikan mandat. Olehnya gereja harus bersaksi dan melayani serta melaksanakan Missio Dei-Christi dengan turut serta terlibat dalam kepedulian sosial. Missio Dei-Christi tidak mungkin dijalankan oleh gereja di Indonesia bila di dalam kehidupan gereja itu sendiri masih terdapat pandangan dua-listis yang memisahkan kehidupan gereja kerohanian dan masyarakat duniawi. Gereja harus membina anggota-anggotanya agar mereka menyadari relasi gereja dan masyarakat sebagai dua dimensi dari satu realitas kehidupan Kristen. Masalah kema-syarakatan entah itu kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, pencemaran lingkungan, dan isu-isu sosial lainnya harus dilihat sebagai tanggung jawab dan tugas bersama tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Gereja masa kini perlu melihat gereja perdana mengenai misi dalam hubungannya dengan rencana Allah bagi penyelamatan manusia, yakni gereja sebagai penatalayan di dunia juga memiliki tanggung jawab sosial sebagai bagian dari masyarakat manusia pada umumnya. Sejak awal, penginjilan, ajaran, persekutuan/ibadah, dan pelayanan sosial semuanya merupakan bagian integratif dari misi gereja perdana Kis. 242-47. Injil bersifat holistik karena Kekristenan yang alkitabiah berbicara kepada setiap kebutuhan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pelayanan misi gereja semestinya terintegrasi, baik dalam teologi maupun dalam praktiknya, tidak ada dualistis yang memisahkan antara “rohani” dan “fasik”, “individu” dan “komunitas”, “suci” dan “sekuler”, dan seterusnya. Oleh sebab itu, gereja harus menolak untuk memi-sahkan keduanya. Refleksi Penting sekali gereja memiliki pemahaman yang benar tentang pelayanan holistik kepedulian sosial dalam kaitannya dengan kegiatan Pekabaran Injil. Terkadang dijumpai pelayanan holistik dijadikan “alat” untuk mengkristenkan orang. Niat pembe-ritaan Injil, pertama-tama bukan didasarkan pada motivasi kristenisasi, yaitu untuk menjadikan orang yang bukan Kristen menjadi Kristen, atau menjadi anggota gereja tertentu pertumbuhan gereja. Pemberitaan Injil harus didasarkan pada kerinduan atau kasih agar mereka yang terhilang dalam dosa beroleh keselamatan melalui iman kepada Tuhan Yesus. Inilah motivasi dasar yang benar untuk kegiatan pekabaran Injil. Stevanus, “"Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”.” Ailsa Barker Wirawan, Jemaat Misioner Jakarta Bina kasih/OMF, 2011,190 Kalis Stevanus Rekonstruksi Paradigma dan Implementasi Misi… Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 114 Pelayanan holistic tidak hanya berusaha menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka sekarang ini. Terkadang juga pelayanan holistic dijadikan “alat” untuk meredam suatu gejolak di masyarakat ketika terjadi aksi protes atas kehadiran gereja. Ini adalah suatu perbuatan yang tidak jujur, tidak etis sebab tidak dilandasi kasih yang murni agape. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, disimpulkan bahwa paradigma dan praktik misi gereja harus direkonstruksi ulang, dan dalam implementasinya melakukan pendekatan integratif dan/atau holistik dalam pekerjaan misi. Sebab untuk itulah gereja ada dan diutus ke dalam dunia di mana ia ada. REFERENSI Anne Ruck, Dkk. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Arifianto, Yonatan Alex, and Kalis Stevanus. “Membangun Kerukunan Antarumat Beragama Dan Implikasinya Bagi Misi HUPERETES Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 2020 39–51. Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogjakarta Taman Pustaka Kristen, 2008. Bosch, David. Transformasi Misi Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2006. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001. Dwiraharjo, Susanto. “Kajian Eksegetikal Amanat Agung Menurut Matius 28  Jurnal Teologi Gracia Deo 1, no. 2 2019 56–73. Kalis Stevanus. Benarkah Injil Untuk Semua Orang? Yogyakarta Diandra Kreatif, 2017. ———. “Karya Kristus Sebagai Dasar Penginjilan Di Dunia Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 1–19. Lumintang, Stevri. Misiologia Kontemporer. Batu Malang YPPII, 2006. Mangunwijaya, “Pengantar”, Dalam Kepedulian Sosial Gereja, R. Dopo. Yogjakarta Kanisius, 1993. Petrus Octavianus. Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah. Batu Malang YPPII, 1985. Ria Pasaribu, Dkk. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Stevanus, Kalis. “"Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik”.” Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 2018 284–298. ———. Lihatlah Sang Juruselamat Dunia. Yogyakarta Diandra Kreatif, 2018. ———. “Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menurut Lukas 1025-37 Sebagai Upaya Pencegahan BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, no. 2020 1–13. ———. Panggilan Teragung Pedoman Dan Metoda Praktis Untuk Memberitakan Kabar Baik Sampai Ke Ujung Bumi. Yogyakarta Andi Offset, 2019. Stevanus, Yonatan Alex Arifianto; Sari Saptorini dan Kalis. “Pentingnya Peran Media Sosial Dalam Pelaksanaan Misi Di Masa Pandemi HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, no. 2020 86–104. Thomas, Norman E. Teks-Teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Sedunia. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2012. Wirawan, Ailsa Barker. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Jurnal Efata, Vol 7, No 2, Juni 2021 Copyright© 2020 JURNAL EFATA e-ISSN 2722-8215, p-ISSN 2477-1333 115 Woga, Edmund. Misi, Misiologi, Dan Evangelisasi Di Indonesia. Yogyakarta penerbit Kanisius, 2009. Yunianto, Kalis Stevanus dan. “Misi Gereja Dalam Realitas Sosial Indonesia Masa HARVESTER Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen no. 1 2021 55–67. Roedy SilitongaPantjar SimatupangGod calls his ecclesial church to go out to proclaim his Gospel to all creation and baptise, teach, and make all nations his disciples. Local churches, particularly in Indonesia, commonly carry on the calling by using the so-called One Duty the Missio Dei-Three Tasks koinonia, martyria, diakonia tasks. Reality shows of not uncommon partial and unbalanced implementations of the three tasks, mostly heavy focused on koinonia but less in both martyria and diakonia. The study objective is to assess implementation of the church missions view of drawing general lessons for a more effective implementation. The study was conducted at a small-sized church congregation in an indigenous community in a remote rural local area, using a mixed literature review, field observation and interviews, and conceptual synthesis methodology. The key findings are that mission fields are diverse and wide and requires contextual missions, the diakonia task plays a pivotal role, and a small size of congregation is good for quality-oriented missions, the Strength Gift Based Community Development conducted in a holistic integrated transformational mission is an appropriate approach. The study contributes to interdisciplinary understanding and formulation of basic principles in doing integrated missions by local churches, particularly in rural areas with indigenous community, remote location, and poverty-stricken mission study describes the importance of missionological learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education. Learning strategies in missionology-based Christian Religious Education to learners are very effective in strengthening the foundation of children's faith from an early age on the importance of carrying out the Great commission to preach the gospel. Coupled with holistic service learning strategies can help students quickly to implement missionology learning in schools and the community. Therefore, through this study, the author conveys that considering the importance of missionology learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education can equip and instill mission values with holistic service in students from an early age. This research uses descriptive qualitative methods with a literature study approach, so it can be concluded that the indicators of missionology learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education stated in this study can help readers understand the importance of missionary learning strategies and holistic ministry in Christian Religious Education. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada para pendidik Kristen tentang pentingnya pendidikan misi melalui pelayanan holistik kepada peserta didik sejak dini melalui Pendidikan Kristen. Strategi pembelajaran dalam Pendidikan Agama Kristen yang berbasis misi kepada peserta didik sangat efektif untuk memperkuat fondasi iman anak-anak sejak dini tentang pentingnya pelayanan yang holistik tanpa harus dibatasi atau mengesampingkan yang lain. Strategi pembelajaran pelayanan holistik juga dapat membantu peserta didik dengan mudah untuk mengimplementasikan misi di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis menyampaikan bahwa misi melalui pelayanan holistik sangat penting dalam Pendidikan Kristen, karena dapat membekali dan menanamkan nilai-nilai misi dengan pelayanan holistik dalam diri peserta didik sejak dini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi literatur dan memberikan kesimpulan mengenai indikator-indikator sebagai faktor yang menentukan pentingnya strategi pembelajaran misi melalui pelayanan holistik dalam Pendidikan Agama relationship between the church and the world, the task of preaching the gospel and social care are still hot topics of discussion today. The purpose of raising this topic is so that the church can be reminded of the correct paradigm regarding the double mandate commanded by Jesus Christ the Head of the church in Matthew 2819-20 and Matthew 2234-40. The church's paradigm regarding the two mandates invariably influences and determines the practice of church life in its daily form. To describe the subject of this discussion, the author used a qualitative approach based on a literature study in which a range of relevant books and scientific academic articles were investigated and considered after which descriptive conclusions could be drawn. The results of the study indicate that Jesus through the mandate of evangelism, becomes an agent of spiritual transformation which ultimately results in needed social transformation. The mission of God is then for all of us to be involved in the spiritual elements of life and in considering the afterlife and of course also in striving to make the world a better place for SianturiThomas AllfadiserThe use of image-based media in teaching, is also needed as a means to teach in conveying material. Therefore, the use of image-based media is expected to be able to improve understanding of PAK teaching, especially in Sunday Schools of primary age. The purpose of this study is to find the reality, in the use of image-based media that is used as a medium to deliver PAK teaching in Sunday Schools. This research uses qualitative research with a case study approach. The research results obtained from the reality of using image-based media are to determine the material to be delivered. So, before the use of image-based media is used, the teacher first determines the material to be delivered, then the use of the media has a match with the material that has been TeologiPendidikan KristenParadigma MisiTeologi CipanasCriticism to the church in carrying out its mission is often raised. A number of churches are considered no longer world-oriented but only Heaven-oriented. In his book, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, Ebenhaizer I. Nuban Timo suggests that there are four erroneous paradigms about the mission. This paper is an attempt to assess whether these four erroneous paradigms also exist in the Batak Karo Protestant Church GBKP Namo Buah Silebo-Lebo NBS, Deli Serdang district, North Sumatra. The purpose of this assessment, of course, is to get a real picture of the GBKP NBS. This research is qualitative research through literature study and interviews. A literature study was carried out by tracing a number of writings on the mission of the church and also a number of GBKP NBS documents. Meanwhile, the interviewees included Former NBS Village Head, GBKP NBS church leader, a number of members and administrators of several GBKP NBS categories. As a result, the four mission paradigm errors concluded by Timo above were also found in the NBS GBKP. Abstrak Kritik terhadap gereja dalam menjalankan misinya sering dikemukakan. Sejumlah gereja dinilai tidak lagi berorientasi pada dunia tetapi hanya berorientasi pada Surga. Dalam bukunya, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, Ebenhaizer I. Nuban Timo mengemukakan adanya empat paradigma yang keliru tentang misi. Tulisan ini merupakan upaya untuk menilai apakah keempat paradigma yang keliru ini juga ada di dalam Gereja Batak Karo Protestan GBKP Namo Buah Silebo-Lebo NBS, kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri sejumlah tulisan mengenai misi gereja dan juga sejumlah dokumen GBKP NBS. Sementara itu, wawancara dilakukan terhadap beberapa komponen masyarakat. yang diwawancarai antara lain Mantan Kepala Desa NBS, pemimpin jemaat GBKP NBS, sejumlah anggota dan pengurus beberapa kategorial GBKP NBS. Hasilnya, keempat kekeliruan paradigma misi yang disimpulkan oleh Timo di atas ternyata juga ditemukan dalam GBKP general, the problem of mission today is related to a one-sided emphasis on one side. One emphasizes and maintains the context of the humanitarian field with all its problems and challenges so that it tends to ignore the text. While others are fixated on the text and ignore the context. It is undeniable that the mission paradigm will influence and determine its missionary practice. This paper is intended to contribute theoretically about the importance of reconstructing the Church's mission paradigm that is relevant to the context of today's Indonesia, and practically the churches in Indonesia can implement an applicable form of mission by taking part in alleviating the concrete problems faced. by the community according to the capabilities of the church members. By using a qualitative approach, namely a literature study, the author will describe descriptively about the foundation of Christian mission and the urgency of conducting a review or updating of the understanding and practice of its mission in the current concrete situation. It was concluded that the mission of the church must still be carried out but in its implementation it must pay attention to the social situation in the community. Because the mission of the church without paying attention to the context of its recipients will find difficulties and even failures in carrying out God's will as the light and salt of the world. This means that the strategy or technique of the church's mission must be implemented according to the current context in which the church is Coronavirus Disease 2019 Covid-19 outbreak, or better known as the Corona virus, is spreading rapidly, bringing changes in socializing and communicating in the community. Government regulations require all citizens to participate in breaking the chain of transmission of the virus. This of course also has an impact on the concept and implementation of the mission that has been carried out, namely face to face. As one way the church must continue to take its role in witnessing or preaching the gospel of Jesus Christ to non-believers using social media as the right choice in carrying out missions during the Covid-19 pandemic. This article will describe the understanding of the Church or believers as recipients of God's mission mandate, and the use of social media as a means of carrying out missions during the Covid-19 pandemic, and how the effectiveness and constraints of carrying out missions through social media. The results of the research can be said that the mission can still be carried out in all conditions in the midst of society even though without having to meet face to face with the way the church empowers its people to actively use social media as a means of preaching the Coronavirus Disease 2019 Covid-19 atau lebih dikenal dengan nama virus Corona yang menyebar dengan cepat membawa perubahan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi di masyarakat. Aturan pemerintah mengharuskan semua warga berpartisipasi dalam memutus rantai penularan virus tersebut. Hal itu tentu juga berdampak pada konsep dan pelaksanaan misi yang selama ini dilakukan, yakni dengan tatap muka secara langsung. Sebagai salah satu caranya gereja harus tetap mengambil perannya untuk bersaksi atau memberitakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang yang belum percaya menggunakan media sosial sebagai pilihan yang tepat di dalamnya pelaksanaan misi di masa pandemi Covid-19. Artikel ini akan memaparkan pemahaman tentang Gereja atau orang percaya sebagai penerima mandat misi Allah, dan pemanfaatan media sosial sebagai salah satu sarana pelaksanaan misi di masa pandemi Covid-19, dan bagaimana efektivitas serta kendala pelaksanaan misi melalui media sosial. Hasil penelitian dapat dikatakan bahwa misi dapat tetap dilakukan dalam segala kondisi di tengah-tengah masyarakat meskipun tanpa harus tatap muka secara langsung dengan cara gereja memberdayakan umatnya untuk secara aktif menggunakan media sosial sebagai sarana pemberitaan Bina kasih/OMF, 2011. Arifianto, Yonatan Alex, and Kalis StevanusAnne RuckDkk Jemaat MisionerAnne Ruck, Dkk. Jemaat Misioner. Jakarta Bina kasih/OMF, 2011. Arifianto, Yonatan Alex, and Kalis Stevanus. "Membangun Kerukunan Antarumat Beragama Dan Implikasinya Bagi Misi Kristen." HUPERETES Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 2, no. 1 2020 Gereja Misioner Dalam Konteks IndonesiaWidi ArtantoArtanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogjakarta Taman Pustaka Kristen, Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman AllahPetrus OctavianusPetrus Octavianus. Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang Firman Allah. Batu Malang YPPII, StevanusStevanus, Kalis. ""Mengimplementasikan Pelayanan Yesus Dalam Konteks Misi Masa Kini Menurut Injil Sinoptik"." Fidei Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika no. 2018 284-298. -. Lihatlah Sang Juruselamat Dunia. Yogyakarta Diandra Kreatif, 2018. -. "Memaknai Kisah Orang Samaria Yang Murah Hati Menurut Lukas 1025-37Sebagai Upaya PencegahanKonflikSebagai Upaya Pencegahan Konflik." BIA' Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, no. 2020 1-13. -. Panggilan Teragung Pedoman Dan Metoda Praktis Untuk Memberitakan Kabar Baik Sampai Ke Ujung Bumi. Yogyakarta Andi Offset, 2019.

CaraHidup Gereja Modern Dalam Kehidupan Masa Kini dan Masa Depan. Bila dibandingkan dengan sejarah gereja mula-mula seperti cara hidup mereka diceritakan dalam Kisah Para Rasul 4:32-35; Cara hidup gereja di zaman modern cukup jauh berbeda saat ini.

The background of Latin American society in the past who were familiar with the hegemony of power of the bourgeoisie caused concern in the hearts of Christian theologians at the time. This concern finally gave birth to a theological model known as Liberation Theology. Liberation Theology is a praxis-oriented theological model, namely real action for the liberation of marginalized, poor and oppressed people. But the thought of Marxism influenced the concept of Liberation Theology so that the theological model was more like a destructive ideology. Bringing the concept of Liberation Theology to the light of the word of God is the right action for the church today in responding to the Liberation Theology. The aim is to analyze the contents of Liberation Theology, and how should the role of the church address the Liberation Theology, and apply liberation theology in everyday life. The method used is an explanatory qualitative approach to the role of the church in response to Liberation Latar belakang masyarakat Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori tentang peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 14 Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Fajar Gumelar*, Hengki Wijaya Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, Sulawesi Selatan *fajargumelar21298 Abstract The background of Latin American society in the past who were familiar with the hegemony of power of the bourgeoisie caused concern in the hearts of Christian theologians at the time. This concern finally gave birth to a theological model known as Liberation Theology. Liberation Theology is a praxis oriented theological model, namely real action for the liberation of marginalized, poor and oppressed people. But the thought of Marxism influenced the concept of Liberation Theology so that the theological model was more like a destructive ideology. Bringing the concept of Liberation Theology to the light of the word of God is the right action for the church today in responding to the Liberation Theology. The aim is to analyze the contents of Liberation Theology, and how should the role of the church address the Liberation Theology, and apply liberation theology in everyday life. The method used is an explanatory qualitative approach to the role of the church in response to Liberation Theology. Keywords church; Gutiérrez; liberation; praxis Abstrak Latar belakang masyarakat Amerika Latin di masa lampau yang akrab dengan hegemoni kekuasaan kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu. Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Akan tetapi pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan sehingga model teologi ini lebih mirip ideologi yang destruktif. Membawa konsep Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori tentang peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan. Kata Kunci gereja; Gutiérrez; pembebasan; praksis 1. Pendahuluan Salah satu masalah krusial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah berkenaan dengan stratifikasi dan diferensiasi sosial, kemiskinan, dan diskriminasi. Di saat sebagian orang hidup dengan segala kemudahan, sebagian lainnya justru menderita dan hidup serba kekurangan. Di saat yang lain dipermudah dalam berbagai layanan Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 onlineVolume 2, No 1, Juni 2019; 14-26 Available at Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 15 publik, yang lain justru dipersulit. Belum lagi kentalnya budaya patriarkal yang begitu diskriminatif. Berdasarkan kenyataan bahwa gereja tumbuh dan berkembang dalam konteks sosial masyarakat Indonesia yang demikian, gereja dituntut untuk tidak menutup mata terhadap berbagai isu sosial masyarakat yang terjadi disekitarnya, sebab gereja dipanggil untuk memberitakan kabar baik bagi mereka yang tertindas dan tertawan serta membawa damai sejahtera Allah bagi dunia. Gagasan ini pada dasarnya merupakan bagian dari konsep Teologi Pembebasan yang mula-mula lahir di Amerika Latin, dan kemudian turut memengaruhi Asia termasuk Indonesia, sebagai bentuk keinsafan gereja akan tanggung jawabnya terhadap isu sosial masyarakat di sekitar. Artikel bertujuan untuk menganalisis isi Teologi Pembebasan, dan bagaimana seharusnya gereja – sebagai saksi Kristus yang hadir ditengah konteks sosial masyarakat Indonesia yang timpang dan diskriminatif − menyikapi Teologi Pembebasan tersebut, dan bagaimana gereja menerapkan teologi pembebasan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah lahirnya Teologi Pembebasan tidaklah lepas dari keadaan Amerika Latin di masa lampau. Orang-orang dari Amerika Utara, yakni orang-orang suku Indian berpindah ke wilayah Amerika Tengah dan Selatan, yang kemudian dikenal sebagai negeri-negeri Amerika Latin. Suku Indian kemudian menjadi penduduk asli disitu dan sangat men-cintai alam dan tanahnya. Keadaan yang damai dan tenteram itu berubah setelah keda-tangan bangsa Eropa khususnya Spanyol dan Portugis pada tahun 1942 dan mulai menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam dan tanah benua itu dan memperlaku-kan penduduk asli dengan Amerika Latin yang kaya dengan sumber daya alam ternyata tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya. Justru rakyat dikepung dengan kemelaratan dikarenakan kekayaan alam hanya dikuasai oleh segelintir orang bermodal yang memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan kaum lemah. Keadaan penduduk yang memprihatinkan ini menimbulkan berbagai reaksi, khususnya dari dalam gereja. Konsep pemikiran Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis muncul dari kalangan para teolog Katolik. Teolog-teolog pembebasan itu antara lain Rigoberta Manchú Tum, Frei Betto, Hugo Assmann dan Gustavo Metode Penelitian Penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri yang mencari sumber terpercaya yang diharapkan dapat melengkapi data yang telah ditemukan melalui Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas’ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia” makalah dipresentasikan pada Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia, STT IKAT, Jakarta, 4 September 2018. Ibid. Ibid. Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama Malang Gandum Mas, 2004 398. Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan.” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 16 observasi, wawancara, dan penelusuran literatur kepustakaan. Pembahasan di dalam paper dengan pendekatan kualitatif yang bersifat eksplanatori, yang menjelaskan segala hal berkaitan dengan teologi pembebasan dalam hubungannya dengan peran gereja melalui pembahasan teoritik yang sumbernya adalah literatur berupa buku dan jurnal. Penekanan pembahasan di arahkan pada usaha mencari penjelasan makna, dan fenomena berkaitan dengan pokok Pembahasan Gustavo Gutiérrez dan Teologi Pembebasan Diantara sekian banyak teolog-teolog pembebasan, Gutiérrez adalah salah satu yang paling tersohor. Gutiérrez lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan di Lima, dalam keluarga yang relatif miskin tampaknya telah membuat Gutiérrez memiliki rasa empati yang besar terhadap kehidupan orang-orang lain disekitarnya yang memiliki nasib yang sama atau bahkan lebih buruk darinya. Sebagai seorang teolog, Gutiérrez melihat kehidupan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas sebagai urgensi atau isu krusial dari sebuah teologi. “Teologi pembebasan dimulai sebagai refleksi iman dalam tindakan bersama atas orang miskin dan yang terpinggirkan, dan telah berkembang ke ranah praksiks, refleksi teologis, dan herme-neutika pascakolonial.”Gutiérrez berpandangan bahwa teologi seharusnya adalah the second act yang mengikuti praksis yang adalah the first act. Yang dimaksud dengan praksis adalah kontemplasi doa dan aksi komitmen. Inilah yang mencirikan Teologi Pembebasan, bahwa praksis selalu mendahului refleksi. Teologi Pembebasan pada umumnya memfokuskan praksis pembebasan bagi kaum termargi-nalkan, yang miskin, tertindas dan teraniaya, dengan tidak semata-mata menyuarakan keprihatinan dan kepedulian dari belakang meja belajar, tetapi turut menceburkan diri dalam kehidupan rakyat dan bersama-sama mengupayakan apa yang menjadi tuntutan dan keinginan pengamatan Gutiérrez terhadap konteks sosio-kultural Amerika Latin, kemiskinan Amerika Latin adalah kemiskinan struktural, artinya orang dibuat Wijaya, Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi Makassar Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar, 2018, 23. Sonny Eli Zaluchu, Sistematika Riset dan Analisis Data Kuantitatif Semarang Golden Gate Publishing, 2018, 22-23. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” Orientasi Baru 25, no. 1 April 2016 20, diakses 22 Januari 2019, William T. Cavanaugh, Peter Manley Scott ed., Wiley Blackwell Companion to Political Theology USA John Wiley & 2019, 302-303. Band Ivan Sampe Buntu, “Membaca Teks Dalam Pandangan Poskolonial Catatan Kritis Atas Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci,” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 1, no. 2 2018 179–190. Ibid., 20. Hendri Mulyana Sendjaja, “Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas’ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia” Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 25. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 17 Kemiskinan struktural merupakan konsekuensi interaksi kelas bawah masyarakat dengan kelas atas yang kapitalis dan berkarajter feodal. Perpaduan antara kapitalisme eksternal dan sikap feodal para pemodal internal berperanan di dalam memun-culkan kemiskinan. Ada suatu sistem yang secara struktural terbentuk di kalangan para pemilik modal atau kaum kapitalis untuk memperkaya diri sendiri dengan mengor-bankan kesejahteraan masyarakat miskin. Sistem ini membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan tertindas. Kesenjangan dan ketidakadilan inilah yang coba dibereskan oleh konsep Teologi Pembebasan ala Gutiérrez. Ia ingin mendamaikan materialisme dan idealisme dunia profan dengan surga transenden.”Gutiérrez mengatakan bahwa ia membuat tiga penemuan bahwa perlu memerangi ke-miskinan, orang miskin adalah kelas yang dapat diidentifikasi, dan bahwa “kemiskinan tidak disengaja…bukan hanya masalah kebetulan, tetapi hasil dari struktur.”Fenomena kontemporer adalah kemiskinan kolektif yang mengarahkan mereka yang menderita untuk menjalin ikatan solidaritas di antara mereka sendiri dan untuk perjuangan melawan kondisi di mana mereka berada dan melawan mereka yang mendapat manfaat dari kondisi ini. Dengan kata lain konsep Teologi Pembebasan berusaha untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup setiap umat manusia dimana sukacita surga yang mulia dinyatakan di dalam dunia yang fana. Dalam pandangan Teologi Pembebasan, gerejalah yang harus menjadi pemrakarsa dari tindakan ini sebagai saksi Kristus dan warga kerajaan Allah, bukannya sekadar berdiam diri atau malah mendukung hegemoni kekuasaan yang menindas kaum lemah. Satu penekanan penting dalam konsep pembebasan Gutiérrez adalah bahwa “sesuatu yang transenden tidak mungkin dibicarakan atau diwartakan tanpa adanya sebuah perubahan pada tatanan masyarakat yang tidak adil.”Tiga penemuan Gustavo Gutiérrez mengenai kemiskinan yaitu 1 kemiskinan adalah destruktif, sesuatu yang saling berlawanan, dan menghancurkan bukan sesuatu yang dapat diterima oleh tindakan kasih; 2 kemiskinan bukan kebetulan tetapi berstruktur. Maka diperlukan suatu perubahan baru; 3 kemiskinan adalah suatu kelas sosial sehingga terjadi diskriminasi dan eksploitasi status. Oleh karena itu Gutiérrez bertindak membantu yang miskin, dan membawa pemikirannya masuk dalam tindakan politik. Ivanovich Agusta, Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, 137-138. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 25-26. Paul E. Sigmud, Liberation theology at the crossroads democracy or revolution? New York Oxford University Press, Inc, 1990. Gustavo Gutiérrez, A Theology Of Liberation History, Politics, And Salvation Maryknoll, Orbis, 1973, 163-164. Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 26. Robert McAfee Brown, Gustavo Gutierrez An Introduction to Liberation Theology Eugene, Oregan Wips and Stock Publisher, 2013, 32. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 18 Teologi Pembebasan memiliki empat metode. Pertama, Teologi Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi haruslah secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang Pembebasan bukanlah teologi yang bersifat universal tetapi kontekstual. Konteks pembebasan yang diupayakan terhadap masyarakat termarginalkan di Amerika Latin tentu tidak dapat diterapkan dalam konteks masyarakat lain. Hal ini dikarenakan adanya kekhasan sosio-kultural dalam setiap komunitas masyarakat. Untuk itu gereja harus selalu melihat isu krusial dalam masyarakat, dan melihat konsep pembebasan seperti apa yang perlu disuarakan dan diupayakan. Kedua, teologi sebagai refleksi kritis di dalam komunitas. Menurut Gutiérrez, “teologi haruslah keluar dari kehidupan iman yang berusaha menjadi otentik dan sempurna.”Keotentikan dan kesempurnaan kekristenan yang sejati itu dapat dicapai apabila gereja memihak kepada masyarakat miskin dan melibatkan diri dalam perjuangan untuk membebaskan mereka. Gutiérrez memiliki pemikiran kedatangan Kerajaan dan pengharapan parousia adalah selalu dan pasti bersifat historis, temporal, realitas duniawi, sosial dan bukunya yang berjudul On the side of the poor the theology of liberation pemikiran Gutiérrez, dan Müller mengingatkan komunitas gereja, mengapa teologi pembebasan merupakan hadiah penting bagi gereja global. Esai Müller sangat berwawasan luas karena mereka mengklarifikasi aspek-aspek tertentu dari teologi pembebasan misalnya menjelaskan konteks, dan kontribusinya pada teologi sambil menawarkan alasan yang meyakinkan tentang mengapa teologi pembebasan harus dipandang lebih dari sekadar teologi regional belaka. Namun Teologi Pembebasan tidak boleh hanya memandang kemiskinan adalah tanggung jawab gereja saja tetapijuga tanggung jawab secara universal. Kemiskinan akan selalu ada di antara kita, namun yang terpenting bagaimana mengimplementasikan iman Kristen sehingga kaum miskin menyadari ada pembebasan yang lebih baik daripada kemiskinan itu sendiri yaitu pembebasan yang diberikan oleh Allah, dan bukan pembebasan yang diusahakan oleh manusia atau pemahaman teologi semata. Ketiga, menempatkan praksis sebagai peran utama bagi pembebasan kaum tertindas. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa praksis merupakan the first act dalam konsep Teologi Pembebasan. Gutiérrez melihat bahwa belas kasihan adalah pusat dari kekristenan, sehingga teologi Kristen haruslah menyangkut praksis yang secara konkret menerapkan kasih itu dalam kehidupan, khususnya dalam kegiatan Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” Veritas 1, no. 2 Oktober 2000 184. Ibid., 184. Ibid. Tim Gorringe, “Cult books revisited Gustavo Gutierrez’s A Theology of Liberation,” Theology 120, no. 4 2017 249, Gustavo Gutiérrez and Gerhard Ludwig Müller, On the Side of the Poor The Theology of Liberation Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Ibid., 185. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 19 pembebasan kaum miskin dan tertindas. “Teologi Pembebasan dalam seluruh tujuan praksisnya menyamakan mencintai sesama sama dengan mencintai Tuhan.” Teologi yang dicari oleh Gutierrez adalah sesuatu yang terbuka bagi anugerah Kerajaan Allah dalam protes menentang martabat manusia yang terinjak-injak, perjuangan melawan penjarahan sebagian besar orang, kasih yang membebaskan, dan pembangunan yang baru, adil, dan masyarakat teologi adalah the second act yang mengikuti praksis. Dalam tindakan pertama, gereja memainkan perannya sebagai saksi Kristus yang berdiri di pihak orang-orang miskin, tertawan dan tertindas. Sementara tindakan kedua adalah refleksi terhadap praksis yang kemudian diajarkan sebagai sebuah teologi. Dari penjelasan keempat metode tersebut di atas maka metode keempat mengaitkan Teologi Pembebasan dan konsep pemikiran Marxisme. Teologi Pembebasan pada hakikatnya tidaklah lepas dari konsep pemikiran Marxisme. Marxisme adalah paham yang berlandaskan pada pandangan-pandangan Karl Marx. Dalam pandangan Marxisme dikatakan bahwa agama adalah candu kekristenan yang mapan dan berpengaruh kala itu akhirnya memunculkan pendekatan materialistik dalam memahami agama. Hal ini kemudian menjadikan agama berkembang menjadi alat justifikasi penguasa yang dipandang sebagai wakil Tuhan ternyata justru menciptakan sistem yang diskriminatif dan egosentris. Freuerbach turut melihat bahwa terjadi penguasaan agama oleh kaum hegemonik yang kemudian berimplikasi pada pembentukan strata kelas-kelas dalam masyarakat, bahkan pola penindasan dan perilaku subordinatif lainnya oleh kelas penguasa kepada publik. Agama menjadi candu bagi masyarakat yang membuat ketagihan untuk menjaga survivalitas akan keistimewaan kelas yang keyakinan Kristen bukanlah agama atau legalitas di masyarakat, tetapi pribadi yang menyatakan kasih-Nya atas manusia, dan manusia pun melakukan kasih-Nya kepada yang lainnya. Teologi Pembebasan tidak dapat dilepaskan dari empat pilar pemikiran Marxisme. Adapun empat pilar Marxisme yang diadopsi oleh Teologi Pembebasan adalah a analisis perjuangan kelas; b mengutuk harta milik/kekayaan pribadi; c mendukung pemberontakan yang keras; d “manusia baru” menebus dirinya sendiri menjadi Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 32. Tim Gorringe, “Cult books revisited Gustavo Gutierrez’s A Theology of Liberation,” Theology 120, no. 4 2017 252, Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 186. Wasito Raharjo Jati, “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,” Walisongo 22, no. 1 Mei 2014 136, diakses 24 Januari 2019, Wasito Raharjo Jati, “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,” 136. Ibid., 137. Ibid. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 20 juruselamat bagi dirinya sendiri.Teologi Pembebasan pun turut menerapkan sepuluh dasar pemahaman Marxisme terhadap iman Kristen, yang hasilnya adalah a tidak mengakui adanya kejatuhan; b menyangkal bahwa kematian merupakan akibat dari kejatuhan; c menjadikan Allah sebagai Marxis pertama; d menjadikan Yesus sebagai pencipta subversi; e tidak mengindahkan karya penebusan; f mengubah arti pertobatan pertobatan ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang miskin dan yang tertindas; g menyimpangkan makna kasih disebut kasih jikalau terlibat dalam pemberontakan dan perjuangan melawan penindas; h memindahkan “perbuatan- perbuatan” Kristen ke dalam praksis Marxisme; i menundukkan gereja kepada mandat Marxis; j tidak memiliki doktrin eskatologis yang di atas adalah pertimbangan sebagai kritik yang mana Teologi Pembebasan mengabaikan rencana Allah bagi umat-Nya sekiranya Dia mengizinkan kemiskinan itu ada sebagai konsekuensi rencana-Nya dan kehendak-Nya di masa yang akan datang. Gereja hadir untuk melakukan kehendak-Nya, dan kehendak Allah bukanlah satu-satunya untuk memihak kaum miskin, dan terpinggirkan tetapi kehendak Allah yang membebaskan. Dalam perjalanan sejarah Teologi Pembebasan yang panjang membawa generasi baru para teolog Teologi Pembebasan pada masa kini yang dituliskan secara jelas dalam buku The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto, Ivan Petrella menjelaskan bahwa teologi pembebasan saat ini mendapati dirinya tidak mampu bergerak lebih dari sekadar berbicara tentang pembebasan untuk benar-benar diberlakukan dalam masyarakat. Memberikan interpretasi baru yang berani tentang keadaan saat ini, dan potensi masa depan dari teologi pembebasan. Selanjutnya Ivan Petrella menyatukan penelitian orisinal tentang gerakan, dengan perkembangan dalam teori politik, teori hukum kritis, dan politik ekonomi untuk merekonstruksi pemahaman teologi pembebasan tentang teologi, demokrasi dan kapitalisme. Hasilnya adalah pemulihan proyek-proyek sejarah, sehingga memungkinkan para teolog pembebasan untuk sekali lagi menempatkan realitas pembebasan, dan bukan hanya janji, di garis depan tugas mereka. Dengan demikian semakin nyata perjuangan para teolog Teologi Pembebasan untuk mewujudkan Teologi Pembebasan dalam realitas kehidupan Kristen, dan bergereja. Pemikiran Gutiérrez yang melahirkan Teologi Pembebasan di masa lalu, dan perbedaannya di masa kini menanggapi relevansi Teologi pembebasan pada masa kini yang man konteks Teologi pembebasan pada masa itu tidak melihat tantangan di masa yang akan datang. Gutiérrez menilai bahwa Teologi pembebasan saat ini telah Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 185. Ibid., 185. Ivan Petrella, The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto, 1st ed. Routledge, 2017. Ibid. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 21 memasuki periode baru. Gutiérrez juga berpandangan bahwa Teologi tentu membawa tanda waktu, dan konteks eklesial di mana teologi tersebut dilahirkan. Mereka hidup sejauh kondisi yang melahirkan mereka tetap ada. Teologi-teologi yang pernah ada dapat mengatasi berbagai tantangan, namun berjalannya waktu maka teologi tersebut pun akhirnya tunduk dengan waktu yang ada. Kita merujuk, tentu saja, ke mode tertentu dari suatu teologi rangsangan langsung, instrumen analitis, gagasan filosofis, dan lain-lain, bukan fundamental afirmasi tentang kebenaran yang diungkapkan. Ivan Petrella menyikapi pernyataan Gutiérrez dengan memberikan penilaian atas dirinya. Bagi Gutiérrez, dalam kasus teologi pembebasan tertentu, kebenaran esensial yang diungkapkan itu berkisar pada apa yang disebut opsi preferensial bagi kaum miskin. Pilihan untuk orang miskin adalah evangelikal secara radikal, dan dengan demikian merupakan kriteria penting untuk memisahkan gandum dari sekam dalam peristiwa mendesak, dan arus pemikiran kita hari ini. Perhatikan bahwa Gutiérrez membedakan kebenaran teologi yang diungkapkan dari sarana yang membawa kebenaran itu. Dengan demikian, ada perbedaan yang harus ditarik antara konten yang diungkapkan teologi pembebasan, dan alat sosioanalitik yang digunakan untuk menjelaskan konten itu. Mendiskreditkan mediasi tertentu tidak menyentuh opsi preferensial bagi orang miskin sebagai inti dari teologi demikian perlu melihat konteks Teologi Pembebasan pada masa lalu lalu, dan kepentingan Teologi pembebasan pada masa kini. Oleh karena itu, penulis akan menjabarkan penjelasan peran gereja masa kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan dalam konteks kekinian. Gereja dan Teologi Pembebasan Batas-Batas Praksis Pembebasan Teologi Pembebasan merupakan konsep teologi yang berorientasi pada praksis yang mengupayakan keadilan, dan kesejahteraan bagi semua. Dalam konsep ini, Yesus yang datang ke dunia membawa kasih, dan keadilan-Nya bagi umat manusia. Berdasarkan poin tersebut teologi pembebasan hadir dalam solidaritas sosial sebagai refleksi kehadiran Kristus. Tujuan praksis pembebasan adalah baik dan mulia. Namun melihat dasar pemikiran Marxisme yang diterapkan terhadap iman Kristen dapat disadari pula bahwa ada banyak hal yang janggal dan menyimpang dari konsep Teologi Pembebasan. Konsep Teologi Pembebasan yang berorientasi pada praksis dengan pengaruh pemikiran Marxisme cenderung salah dalam menafsirkan firman Tuhan yang diangkat sebagai dasar teologinya. Teologi Pembebasan tidak mengeluarkan kebenaran firman Tuhan untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia yang bermasyarakat, tetapi justru mengambil konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan mencocok-Ibid., 3 Ibid. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 22 kannya atau mengaitkannya dengan ayat-ayat Alkitab yang dianggap mendukung konteks. Jika titik tolak teologi salah, maka penguraiannya pun adalah salah. Teologi alkitabiah haruslah bertolak dari Alkitab, bukannya memanipulasi ayat-ayat tertentu agar selaras dengan tindakan. Pandangan Teologi Pembebasan yang mengizinkan penggunaan kekerasan akan berlawanan dengan pengajaran Yesus yang cinta damai. Dengan demikian perspektif teologi pembebasan mengizinkan gereja untuk mengupayakan segala cara, bahkan kekerasan sekalipun untuk dapat menciptakan masyarakat yang tanpa kelas, dan stratifikasi. Hal itu dapat menyebabkan kehidupan gereja tidak selaras lagi dengan firman Tuhan karena telah menjadi serupa dengan dunia. Gereja tidak lagi menjadi terang dan menerapkan kasih yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peran gereja dalam menerapkan nilai-nilai Teologi Pembebasan dengan cara Allah bertindak, dan bukan dengan sekehendak manusia. Sebab Allah menghendaki perdamaian. Praksis dilihat sebagai satu-satunya jawaban terhadap masalah-masalah sosial, bukannya pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam gereja menerima konsep Teologi pembebasan tanpa evaluasi kritis terhadapnya, maka gereja akan mengalami kekacauan teologi, dan penyimpangan doktrin dari apa yang dicatat dan diajarkan oleh Alkitab. Penerapan Teologi Pembebasan didasarkan pada eksegesis firman Tuhan, dan bukan pemahaman manusia yang dilegalkan dengan firman Tuhan. Untuk itu sebagai gereja haruslah melihat konsep Teologi Pembebasan secara kritis dan menentukan batas-batas praksis yang benar dari model teologi ini. Peran gereja untuk menyikapi pengaruh Teologi Pembebasan yang positif dan negatif. Pengaruh positif yaitu dimana gereja tidak diam melihat realitas sosial yang tidak adil, dan sejahtera yang terjadi di sekitar kehidupan bermasyarakat. Sementara pengaruh negatif adalah ketika gerakan Teologi Pembebasan ini memaksakan pahamnya untuk menolong yang tertindas sekalipun bertentangan dengan pemerintahan, dan menciptakan situasi masyarakat yang tidak damai. Bila Teologi Pembebasan berpandangan bahwa realitas sosial yang penuh konflik tidak dapat membuat kita melupakan persyaratan kasih universal yang tidak mengenal batasan kelas sosial, ras, atau gender. Penegasan bahwa pribadi manusia adalah agen nasibnya sendiri dalam sejarah harus dibuat sedemikian rupa sehingga inisiatif seenaknya dari Allah dalam proses penyelamatan - yang merupakan akhir dari evolusi historis umat manusia - dapat dengan jelas terlihat. Sesungguhnya, karunia Allah "yang mengasihi kita lebih dahulu" 1 Yoh. 419 membingkai dan memunculkan kemanusiaan sebagai respons bebas terhadap kasih itu. Dengan kutipan ayat 1 Yohanes 419 bahwa Allah mengasihi kita lebih dahulu maka wajib untuk mengasihi saudara kita sesama Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasa, 190. Ibid. Gustavo Gutiérrez and Gerhard Ludwig Müller, On the Side of the Poor The Theology of Liberation Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 23 manusia. Namun kasih Allah adalah inisiatif Allah bukan perbuatan kasih menusia terhadap sesamanya. Bila manusia mengupayakan kasihnya dengan kekuatannya maka kasih Allah bisa menjadi sama dengan kasih manusia. Hal positifnya bahwa pandangan Teologi Pembebasan memberikan kebebasan untuk menyatakan kasih kepada semua manusia tanpa melihat perbedaan. Dalam gereja masa kini mungkin sulit menyatakan kasih seperti itu bila tidak ada kasih Allah yang telah mengasihi gereja lebih dahulu. Hal yang lain adalah mengapa kaum borjuis dan kaum miskin menunjukkan gap yang luas dan memberikan perbedaan yang nyata dalam agama sebagai legalitas dan gereja sebagai organisasi, maupun organisme. Inilah yang membuat keterkaitan kuat paham Marxisme dan Teologi Pembebasan. Marxisme dan Teologi Pembebasan pada dasarnya sama-sama mengutuk agama yang melanggengkan status quo dan yang membenarkan kekuasaan kaum borjuis yang Pembebasan juga menyuarakan kritik tegas terhadap kehidupan gereja di masa lampau yang memihak kepada kaum borjuis atau kapitalis yang menindas kaum miskin. Konteks gereja di Indonesia bisa diupayakan dalam konteks berkeadilan sosial bagi seluruh warga gereja dan sesama manusia sebagai warga negara Indonesia. Gereja tidak hanya menjadi organisasi, namun organisme yang menyuarakan pembebasan Kristus atas dosa, kutuk, dan kasih kepada sesama yang didasarkan pada kasih Allah yang hidup dalam orang percaya, dan gereja-Nya. Kemunculan Teologi Pembebasan membawa perubahan gereja yang diinsafkan bahwa keadaan hidup bergereja bukan semata-mata sebuah hierarki tetapi umat Allah. Gereja tidak diutus ke dalam dunia untuk memusingkan soal-soal stratifikasi dalam gereja dan masyarakat atau mempertahankan survivalitas akan keistimewaan kelas yang duniawi, tetapi menjadi terang bagi dunia yang gelap. Hal penting lainnya adalah bahwa Teologi Pembebasan memberitakan panggilan kepada gereja untuk menyatakan kasih kepada sesama sebagai wujud dari teologi yang berdasarkan firman diingatkan untuk tidak sekadar berfokus kepada pembangunan gedung gereja atau disibukkan dengan hal-hal internal gereja, tetapi melakukan hal yang lebih utama yaitu menjadi saksi Kristus bagi masyarakat di sekitarnya. Hal-hal ini merupakan sumbangsih positif dari Teologi Pembebasan kepada kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Untuk itu gereja perlu untuk memahami bahwa Teologi Pembebasan haruslah digunakan atau diterapkan dengan kacamata Alkitab, bukan pemikiran Marxisme. Artinya adalah bahwa batas-batas praksis Teologi Pembebasan ditentukan oleh apa yang dilarang, dan diamanatkan Allah melalui firman-Nya. Segala konsep yang bertentangan dengan firman Allah harus dibuang, sementara praksis-praksis atau pemikiran-pemikiran yang selaras dengan firman Allah haruslah Mateus Mali, “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan,” 31. Natalie, “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan,” 190. Ibid., 190. BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 24 diterapkan dalam kehidupan bergereja, dan bermasyarakat sebagai warga negara Indonesia. Kristus Sebagai Teladan Gereja dan Pembebasan-Nya Teladan sempurna bagi gereja dalam menapaki perjalanan hidup di dunia adalah Yesus Kristus. Kristus sebagai teladan adalah bahwa gereja harus menjadi serupa dengan Kristus. Keteladan Kristus mencakup segala hal yang baik dan seturut kehendak Allah, tidak terkecuali dalam kaitan dengan konsep Teologi Pembebasan. Dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia, Yesus memilih untuk lahir dari keluarga sederhana, dari kaum yang terkecil diantara kaum-kaum Yehuda. Bahkan kelahiran-Nya bukanlah di istana atau rumah yang megah, tetapi justru di kandang domba. Meninjau pada perjalanan kehidupan Yesus ketika hidup sebagai manusia di dunia, dapat pula dilihat bahwa Yesus turut menerapkan praksis pembebasan. Dalam kehidupan pelayanan-Nya, Dia senantiasa memperhatikan kehidupan orang-orang termarjinalkan, miskin dan tertindas. Ia menyembuhkan orang sakit serta memberi makan orang yang kelaparan. Yesus menyatakan keadilan dan kasih Allah bagi dunia secara konkret Lih. Luk. 418-19. Yesus tidak semata-mata menjanjikan keselamatan surgawi tetapi juga berkarya untuk membebaskan manusia dari belenggu penderitaan di dunia, yang antara lain disebabkan oleh kemiskinan; dengan demikian Yesus menjadi pembebas bagi kaum miskin yang yang harus diingat adalah bahwa pelayanan kasih yang dilakukan Yesus tersebut tidaklah menggantikan pemasyhuran Injil. Pelayanan kasih tersebut justru menyertai pemasyhuran Injil. Dalam Matius 1413-21 dapat dilihat bahwa Yesus tidak hanya peduli dengan kebutuhan rohani orang banyak, tetapi juga kebutuhan jasmani mereka. Selain memberitakan firman Yesus juga memberi mereka makan ketika mereka lapar. Lebih dari lima ribu orang dikenyangkan oleh makanan rohani maupun makanan jasmani dari Yesus. “Pemasyhuran Injil harus dilakukan dengan pelayanan firman dan pelayanan kasih, dengan firman dan perbuatan.” Terkait hal tersebut kehadiran Yesus di dunia ini menghadirkan keduanya sekaligus yaitu pemasyhuran Injil dan kasih-Nya. Gereja hadir untuk menyatakan keselamatan roh oleh Injil, dan keselamatan jasmani oleh perbuatan baik orang percaya melalui komunitas gereja. Praksis Teologi Pembebasan seharusnya menjadi bagian dari hidup bergereja. Praksis pembebasan itu berorientasi pada keteladanan pembebasan yang dilakukan oleh Yesus. Peran gereja berfokus pada pembebasan Yesus atas belenggu dosa, dan dampaknya mengasihi Allah, dan mengasihi manusia. Gereja harus peka terhadap isu-isu atau gejala-gejala sosial di sekitarnya. Gereja harus menjadi garam dan terang bagi dunia. Juga bahwa praksis-praksis pembebasan – berupa kontribusi gereja untuk Bobby Steven Timmerman, “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara Satu,” Orientasi Baru 23, no. 1 April 2014 22, diakses 25 Januari 2019, Harun Hadiwijono, Iman Kristen Jakarta BPK Gunung Mulia, 2016, 387. Fajar, Hengki Peran Gereja Masa Kini Menyikapi Teologi Pembebasan Gutiérrez Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 25 menolong orang-orang miskin, tertawan dan tertindas – tidaklah boleh mengabaikan pemashuran Injil. Gereja tidak boleh melupakan tugas panggilannya untuk memberitakan berita Injil bagi dunia. Gereja juga harus menginsafi bahwa segala kontribusinya dalam masyarakat bukanlah supaya mendapat pengakuan dari dunia, melainkan semata-mata supaya Allah dimuliakan, seperti halnya yang Yesus lakukan. Chris Houson mengungkapkan bahwa kehadiran Teologi Pembebasan untuk mengkritik keadaan gereja dengan pertanyaan, dan menantang cara pandang gereja dalam menyikapi relasi gereja dengan hadir di muka bumi untuk menjadi saksi Kristus. Gereja tidak hadir untuk memberi beban, namun berbelas kasihan akan dunia melalui kasih Kristus. Hengki Wijaya dalam tulisannya Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan di dalam Kekristenan menyimpulkan bahwa “Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan Mat. 513-16;Yak. 214- 26.”Selanjutnya sikap orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman yang diberitakan. 4. Kesimpulan Teologi Pembebasan senantiasa berorientasi pada praksis pembebasan kepada kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Namun demikian pemikiran Marxisme turut memengaruhi konsep Teologi Pembebasan. Hal ini tentu bukan suatu hal yang baik. Apalagi oleh pemikiran Marxsis tersebut Teologi Pembebasan menjadi tidak ubahnya seperti ideologi komunis bahkan radikalis yang sama sekali tidak sesuai dengan firman Tuhan. Teologi Pembebasan sejatinya baik untuk diterima dan diterapkan oleh gereja. Untuk itu Teologi Pembebasan harus ditundukkan pada terang Alkitab, sehingga tidak lagi terpengaruh oleh pemikiran Marxisme yang bertentangan dengan Alkitab tetapi Teologi Pembebasan menjadi seruan positif yang menginsafkan gereja untuk tidak sibuk dengan urusan diri sendiri tetapi senantiasa menyatakan kasih Kristus di tengah-tengah hidup bermasyarakat. Peran gereja menyikapi Teologi Pembebasan bukan berdasarkan konteks sejarah lahirnya teologi ini di masa lalu, melainkan nilai-nilai akitabiah yang diterapkan, dan dimplikasikan secara praktis di dalam gereja, dan masyarakat melalui kasih Allah yang membebaskan, dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Chris Howson, A Just Church 21st century Liberation Theology in Action NY Continuum International Publishing Group, 2011, x. Hengki Wijaya, “Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan,” diakses 2 Februari 2019, BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual, Vol 2, No 1 Juni 2019 Copyright© 2019; BIA’, ISSN 2655-4666 print, 2655-4682 online 26 Referensi Agusta, Ivanovich. Diskursus, Kekuasaan dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan Jakarta Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. Brown, Robert McAfee. Gustavo Gutierrez An Introduction to Liberation Theology. Eugene, Oregan Wips and Stock Publisher, 2013. Buntu, Ivan Sampe. “Membaca Teks Dalam Pandangan Poskolonial Catatan Kritis Atas Bacaan Terhadap Teks Kitab Suci.” BIA’ Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 1, no. 2 2018 179–190. Cavanaugh, William T., Peter Manley Scott ed.. Wiley Blackwell Companion to Political Theology. USA John Wiley & 2019. Gorringe, Tim. “Cult books revisited Gustavo Gutierrez‟s A Theology of Liberation.” Theology 120, no. 4 2017 246-252. Gutiérrez, Gustavo. A Theology Of Liberation History, Politics, And Salvation. Maryknoll, Orbis, 1973. Gutiérrez, Gustavo, and Gerhard Ludwig Müller. On the Side of the Poor The Theology of Liberation. Maryknoll, New York Orbis Books, 2015. Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2016. Jati, Wasito Raharjo. “Agama dan Politik Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama.” Walisongo 22, no. 1 Mei 2014 133-156. Diakses 24 Januari 2019. Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang Gandum Mas, 2004. Mali, Mateus. “Gutiérrez dan Teologi Pembebasan.” Orientasi Baru 25, no. 1 April 2016 19-36. Diakses 22 Januari 2019. Howson, Chris. A Just Church 21st century Liberation Theology in Action NY Continuum International Publishing Group, 2011. Natalie. “Evaluasi Kritis Terhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan.” Veritas 1, no. 2 Oktober 2000 181-191. Petrella, Ivan. The Future of Liberation Theology An Argument and Manifesto. 1st ed. Routledge, 2017. Accessed March 29, 2019. Sendjaja, Hendri Mulyana. “„Mewartakan Kabar Baik Pembebasan Bersama dan Bagi Yang Miskin, Tertawan dan Tertindas‟ Menghayati Kembali Kehadiran Teologi Pembebasan Amerika Latin dan Perkembangan Mutakhir Teologi-Teologi Pembebasan Asia.” Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia, Jakarta STT IKAT, 2018. Sigmud, Paul E. Liberation theology at the crossroads democracy or revolution? New York Oxford University Press, Inc, 1990. Timmerman, Bobby Steven. “Menghadirkan Yesus Kristus Yang Membebaskan “Para Petani Miskin Yang Tersalib” Di Paroki Mara Satu.” Orientasi Baru 23, no. 1 April 2014 17-29. Diakses 25 Januari 2019. Wijaya, Hengki. “Analisis Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan.” Diakses 2 Februari 2019. Wijaya, Hengki. Analisis Data Kualitatif Ilmu Pendidikan Teologi. Makassar Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, 2018. Zaluchu, Sonny Eli. Sistematika Riset dan Analisis Data Kuantitatif. Semarang Golden Gate Publishing, 2018. Theodorus MirajiFelicia Irawaty2020 is a tough year for humans due to the Covid-19 pandemic which has attacked all sides of human life. One of the most affected is the human mentality, and this mentality must be restored so that in the post-pandemic era, humans can be active and do everything as before. The church also has a duty to carry out this and the church has teachings that can be given to humans in general and Christians in particular as material for healing, one of which is eschatology which relates to the teachings of Postmillennialism. The method of this research is descriptive method with literature study techniques. Some of the characteristics of Postmillennial teachings are First, Postmillennialists believe that what mankind is waiting for, namely the coming of God's reign, has actually started since the first coming of Jesus. Second, the 1000 year reign is led by Jesus through the church and Third, Postmillennialism believes in the central role of the gospel. From these characteristics, the Postmillennial Viewpoint can contribute to raising hope for the future and as material for Christian Counseling / Pastoral Assistance, contributing to encouraging churches to be actively involved in human life, Postmillennialism Views Encourage evangelism as a human need in the post-pandemic eraSangkot Siraitp>This paper tells the thoughts of two religious figures who are concerned with talking about religion and humanity. These two figures are Abdurrahman Wahid and Gustavo Gutiérrez. The question that will be answered here is how the concept of the liberation of the two figures and where the difference lies and their implications for real life. The issues discussed here are related to theology, more popularly called liberation theology. The method used in this research is to read and examine the work of each of the two figures, both works that are called primary or secondary. After that, the concepts are compared according to their respective contexts. From the results of research on their works, an understanding is obtained that the theology of liberation is inspired by the real conditions of society that are of concern, both in terms of poverty and opportunity. Therefore, according to the two figures, religion must be able to solve the problem, it means that religion practised not only as a doctrine but also humanity. Action work of people who profess religion is needed to solve community problems. There are differences in the approaches of the two figures, namely Gutiérrez is more focused directly involved, while Wahid besides being directly involved, but also with a cultural approach and changing the way people think. The difference between the two approaches has implications for the process of change, namely Gutiérrez is more revolutionary mechanistic, while Wahid is more cultural and evolutionary This paper explains the role of the public sphere based on Jurgen Habermas’s concept and analyzes its relevance for multicultural societies in the Indonesian Context. The public sphere exists to present democracy, tolerance, friendship, inclusivism in diversity, unity in diversity, and education. Indonesia is a country that reflects multiculturalism, can realize peace and unity within a multicultural frame. This article was developed using the Systematic Literature Review SLR method. This paper explains the role of public space based on Jurgen Habermas for interdisciplinary scholarship and its relevance. His findings show Jurgen Habermas's approach through the public sphere can bring about unity and peace in all aspects of life, including differences in beliefs and multicultural contexts.
Слገхуክуኢ шеνоտቅግեдеነ խ ጺс
ԵՒհазаслещ իчቱռεфоዤо եψፎθժеμуλ иςив
Азаሠ ыզоглеУза наτичኻскե ոքև
ԵՒμислօዲ αтሗጌթ ዠևлιρанաሲα οጻ
Юዛа ሔ звιнеОжጾሁፂհ аν
MISIGEREJA MASA KINI Gereja yang hidup adalah gereja yang bermisi, gereja yang dengan sungguh-sungguh dan setia mencoba menjalankan setiap aspek kebenaran firman Tuhan di dalam kesehariannya. Memang itu bukan hal yang gampang, tetapi bukan tidak mungkin dicapai dan dilakukan.
Perbedaan Antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan Pengarang Robert Simon Tanggal Pembuatan 20 Juni 2021 Tanggal Pembaruan 10 Juni 2023 Video Se-IMAN tapi TAK Se-AMIN? Perbedaan Kristen Katolik & Kristen Protestan yg wajib diketahui Isi Gereja Katolik vs Gereja Protestan Lebih lanjut tentang Gereja KatolikLebih lanjut tentang Gereja ProtestanApa perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan? Perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan dapat dilihat dari praktik dan kepercayaan masing-masing gereja. Baik Katolik maupun Protestan adalah agama yang memiliki pengikut atau pemeluk agama terbanyak di seluruh dunia. Keduanya percaya kepada Yesus dan kematian-Nya di kayu salib untuk dosa-dosa kita. Ada banyak perbedaan yang terjadi di sepanjang kedua agama yang membingungkan banyak orang tentang siapa yang mengatakan kebenaran. Pada akhirnya, Anda tidak bisa mengatakan yang satu ini mengatakan yang sebenarnya karena kedua agama memiliki keyakinan dan fakta yang kuat untuk mendukung keyakinan mereka. Kedua agama telah mencoba selama bertahun-tahun untuk menemukan kesamaan, tetapi keduanya memiliki keyakinan dan keyakinan yang kuat bahwa yang satu tidak dapat mengubah yang lanjut tentang Gereja KatolikGereja Katolik memiliki sejarah yang kaya dan penuh warna yang berlangsung selama beberapa dekade. Para rasul dan petobat Kristen telah melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk menyebarkan firman Tuhan dan dalam melakukannya, menyebarkan agama Katolik. Agama menyebar dengan cepat seperti api, dan kepercayaan utama mereka adalah bahwa gereja didirikan oleh Yesus Kristus. Gereja telah mengalami banyak pergumulan selama hari-hari awal Kekristenan dan karenanya berkurang selama pengesahan gereja oleh Kaisar Konstantin I. Gereja Katolik percaya bahwa hari Minggu adalah hari pertama ibadah, oleh karena itu, Minggu hingga hari ini dianggap sebagai hari pertama. dalam seminggu. Karena Kekristenan mula-mula diorganisir secara longgar, hal itu menghasilkan penafsiran yang berbeda tentang firman Tuhan. Gereja Katolik Our Lady of LimerickDalam hal otoritas, Gereja Katolik percaya pada firman Tuhan melalui Alkitab dan tradisinya. Mereka percaya bahwa banyak doktrin Gereja Katolik sama mengikatnya dengan doktrin firman Tuhan. Umat ​​Katolik percaya pada api penyucian, berdoa kepada orang-orang kudus, memuja dan menyembah Maria, ibu Kristus. Meskipun hampir semua praktik itu tidak memiliki dasar yang signifikan di dalam Alkitab, umat Katolik percaya bahwa baik Alkitab maupun tradisi memainkan peran penting dalam keselamatan umat lanjut tentang Gereja ProtestanGereja Protestan dimulai pada akhir tahun 1500-an. Mereka sebenarnya adalah bagian dari Gereja Katolik ketika mereka memutuskan untuk berpisah dari gereja. Pemisahan tersebut disebabkan oleh perbedaan keyakinan dan tafsir. Mereka percaya bahwa gereja melakukan sesuatu yang salah dengan praktik dan ajaran mereka. Mereka memprotes perbuatan gereja dan percaya bahwa satu-satunya sumber hikmat adalah Alkitab dan bukan tradisi dan sejarah individu. Kelompok pemrotes ini membangun gereja mereka sendiri dan mengajar dengan cara yang mereka anggap benar dan jujur. Gereja Protestan Metodis Pertama di SeattleDalam hal otoritas, Protestan percaya bahwa hanya Alkitab yang memiliki otoritas atau yang mereka sebut "Sola Scriptura". Mereka percaya bahwa hanya firman Tuhan yang harus menjadi satu-satunya sumber iman kita, dan tradisi itu tidak penting. Mereka tidak menyembah Perawan Maria karena dia hanyalah ibu jasmani Kristus. Umat ​​Protestan percaya bahwa ada kitab-kitab dalam Alkitab Katolik yang tidak diberkati oleh Tuhan menjadi firman-Nya oleh karena itu harus perbedaan antara Gereja Katolik dan Gereja Protestan?• Baik Gereja Katolik maupun Gereja Protestan percaya pada firman Tuhan melalui Alkitab.• Perbedaan utama adalah Gereja Katolik percaya pada tradisi dan doktrin sedangkan Gereja Protestan tidak mempercayai itu. • Umat Katolik percaya pada api penyucian, berdoa kepada orang-orang kudus, dan menyembah Maria. Protestan tidak percaya pada itu dan bagi mereka Maria hanyalah ibu fisik Yesus.• Gereja Protestan juga percaya bahwa beberapa kitab dalam Alkitab Katolik tidak diberkati oleh Tuhan. Karenanya, buku-buku itu dihapus dari Alkitab Protestan.• Di Gereja Katolik, perempuan tidak bisa menjadi pendeta, tapi bisa menjadi biarawati. Di Gereja Protestan, wanita tidak diperbolehkan menjadi bagian dari klerus. Namun, mereka dapat mengajar dan bekerja di bidang lain.• Hari-hari suci bagi Gereja Katolik adalah Natal, Prapaskah, Paskah, Pentakosta, dan Hari Raya Orang Suci. Hari-hari suci Gereja Protestan adalah Natal dan Paskah.• Gereja Katolik percaya pada semua nabi yang ada di dalam kitab-kitab dari Kitab Suci. Gereja Protestan memiliki keyakinan yang sama. Namun, Gereja Protestan juga menganggap Muhammad sebagai nabi terjadi banyak diskusi panas antara kedua kelompok agama tersebut. Ada lebih banyak perbedaan yang bisa dikutip karena keduanya memperjuangkan apa yang mereka yakini benar dan benar. Intinya di sini adalah iman Anda. Terlepas dari kelompok agama mana Anda berafiliasi, semuanya bermuara pada keyakinan pribadi Anda. Apakah Anda percaya pada makhluk tertinggi atau orang nyata yang dikorbankan di kayu salib untuk keselamatan kita, iman Anda harus berdiri CourtesyGereja Katolik Our Lady of Limerick oleh Ian Poellet CC BY-SA 3. 0Gereja Protestan Metodis Pertama Seattle oleh Joe Mabel CC BY-SA 3. 0
Հጮφо շυցԾуծумዱ ሽዢугуцикеվ о
Своզуг егխሕቮдабኛሡԲօլ ሼα
Нωբեፂоጻጦзу ግяхрօψюባեвЩևнխχ щувруሆе
ሁαհупсыδ ιቇዐጏ иጦиጧурилεАηуֆезвըπ ниσуኔоξոጶ
1 Masalah yang Dihadapi Jemaat Gereja Modern Tantangan gereja masa kini berbeda dengan tantangan jemaat gereja mula-mula. Hal tersebut menyebabkan beberapa hal dari cara hidup dari jemaat gereja mula-mula tidak cukup relefan, atau sulit untuk dilakukan oleh jemaat gereja saat ini.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis model pelayanan jemaat mula-mula berdasarkan Kisah Para Rasul sebagai suatu teladan bagi gereja masa kini. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku, wawancara, maupun jurnal yang membahas topik yang sesuai kebutuhan. Terdapat suatu perbedaan yang mencolok dalam model pelayanan yang dilaksanakan oleh Gereja sebagai tubuh Kristus pada masa kini dan model pelayanan Gereja Perdana di mana terdapat keharmonisan dalam persekutuan, dan Tuhan menganugerahkan setiap hari penuaian jiwa-jiwa baru melalui pelayanan yang mereka laksanakan. Topik pembahasan ini sangat diperlukan oleh karena, pada saat ini terdapat banyak gereja yang tidak menunjukkan kualitas gereja yang sehat, sehingga berujung pada perpecahan di dalam jemaat itu sendiri. Hasilnya, jemaat mula-melayani dengan model kesehatian maupun kesatuan yang menumbuhkan Kerajaan Allah sebagai teladan bagi gereja masa kini, yaitu gereja yang sehat dan proaktif dalam menyaksikan Kristus. Maka kesimpulannya, Gereja sebagai lembaga rohani dan milik kepunyaan Allah pada hakikatnya harus sehat dengan menunjukkan ciri kesehatian dan kesatuan dalam kebersamaan jemaat, sehingga dengan demikian nama Tuhan dimuliakan. Kesehatian dan kesatuan berjalan bersama dan tidak mungkin dipisahkan, sebab tanpa salah satu dari kedua-duanya, kasih Kristus ditiadakan dan di mana tidak terdapat kasih, tidak juga terdapat keadaan gereja yang sehat. Sebab gereja yang sehat mengasihi dikarenakan di dalamnya jemaatnya sudah dipenuhi dengan kasih Kristus yang murni dan sempurna. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Formosa Journal of Multidisciplinary Research FJMR No. 3,2022 521-532 521 DOI prefik ISSN-E 2829-8896 Analisis Model Pelayanan Jemaat Mula-Mula Berdasarkan Kisah Para Rasul Suatu Teladan bagi Gereja Masa Kini Djone Georges Nicolas1* Sekolah Tinggi Teologi Katharos Indonesia ABSTRACT This study aims to analyze the early church ministry model based on the Acts of the Apostles as an example for the Church today. The method used is descriptive qualitative and data collection through Bible sources, books, interviews, and journals that discuss topics as needed. There is a striking difference in the model of service carried out by the Church as the body of Christ today and the model of the ministry of the Early Church, where there is harmony in communion, and God grants each day the harvest of new souls through the ministry they carry out. This topic of discussion is vital because, at this time, many churches do not show the quality of a healthy church, thus leading to divisions within the congregation itself. As a result, the early community served with a model of oneness and unity that fostered the Kingdom of God as an example for the Church today. namely the Church that is healthy and proactive in witnessing Christ. So, in conclusion, the Church, as a spiritual institution and belongs to God in essence, mus be healthy by showing the characteristics of oneness and unity within the congregation so that in this way, the name of God is glorified. Harmony and unity go hand in hand and cannot be separated, for, without either of the two, the love of Christ is abolished, and where there is no love, there is no healthy church because a healthy church loves. After all, in it, the congregation is filled with the pure and perfect love of Christ. Keywords Model; the Early Church, The apostle's story, Example, Church. Nicolas 522 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menganalisis model pelayanan jemaat mula-mula berdasarkan Kisah Para Rasul sebagai suatu teladan bagi gereja masa kini. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku, wawancara, maupun jurnal yang membahas topik yang sesuai kebutuhan. Terdapat suatu perbedaan yang mencolok dalam model pelayanan yang dilaksanakan oleh Gereja sebagai tubuh Kristus pada masa kini dan model pelayanan Gereja Perdana di mana terdapat keharmonisan dalam persekutuan, dan Tuhan menganugerahkan setiap hari penuaian jiwa-jiwa baru melalui pelayanan yang mereka laksanakan. Topik pembahasan ini sangat diperlukan oleh karena, pada saat ini terdapat banyak gereja yang tidak menunjukkan kualitas gereja yang sehat, sehingga berujung pada perpecahan di dalam jemaat itu sendiri. Hasilnya, jemaat mula-melayani dengan model kesehatian maupun kesatuan yang menumbuhkan Kerajaan Allah sebagai teladan bagi gereja masa kini, yaitu gereja yang sehat dan proaktif dalam menyaksikan Kristus. Maka kesimpulannya, Gereja sebagai lembaga rohani dan milik kepunyaan Allah pada hakikatnya harus sehat dengan menunjukkan ciri kesehatian dan kesatuan dalam kebersamaan jemaat, sehingga dengan demikian nama Tuhan dimuliakan. Kesehatian dan kesatuan berjalan bersama dan tidak mungkin dipisahkan, sebab tanpa salah satu dari kedua-duanya, kasih Kristus ditiadakan dan di mana tidak terdapat kasih, tidak juga terdapat keadaan gereja yang sehat. Sebab gereja yang sehat mengasihi dikarenakan di dalamnya jemaatnya sudah dipenuhi dengan kasih Kristus yang murni dan sempurna. Kata Kunci Model, Jemaat Mula-Mula, Kisah Para Rasul, Teladan, Gereja Submitted 07-07-2022; Revised 14-07-2022; Accepted23-07-2022 Corresponding Author djonealexandrenathanael Formosa Journal of Multidisciplinary Research FJMR 2022 521-532 523 PENDAHULUAN Berbicara tentang jemaat dan pelayanan adalah pada kebiasaan topik yang dengan otomatis dikaitkan dengan dunia atau bidang rohani, sehingga menarik perhatian yang khusus dari hampir semua orang yang mendengarnya. Sebab jemaat berhubungan dengan karya Kristus dan iman kepada Dia yang adalah Kepala dan pemilik mereka yang telah ditebus-Nya. Maka pelayanan bukanlah perkara yang dapat dianggap enteng atau sekunder, tetapi keutamaan bagi setiap orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus. Sebab pelayanan merupakan selain bentuk ucapan syukur kepada Tuhan atas kasih karunia yang menjadi bagian hidup orang-orang percaya, pelayanan juga menjadi sarana untuk menyaksikan Kristus kepada dunia. TINJAUAN PUSTAKA Nicolas, 2022 menyampaikan bahwa orang-orang beriman atau jemaat Allah seharusnya menyadari tanggung jawab mereka untuk berkorban dengan mengasihi sesama mereka dalam rangka memperlihatkan kasih Kristus yang tidak bercela dan tanpa batas dan juga tanpa syarat, sebab Gereja dihadirkan oleh Allah di tengah dunia dengan tujuan memperluas kerajaan-Nya. Sebagai organisasi dan organisme Ilahi, gereja sebagai Tubuh Kristus seperti yang disampaikan Rajagukguk, 2018 mempunyai tanggung jawab menjadi terang dan garam bagi sekitarnya, sehingga kondisi gereja selazimnya sehat. Gereja sebagai saksi Kristus mewakili Kerajaan Allah dan memiliki ciri-ciri yang khusus, sehingga nampak perbedaan antara gereja sebagai jemaat Allah dan orang-orang pada umumnya. Djone, 2021 menyampaikan bahwa gembala jemaat selaku pemimpin dalam sebuah gereja menjadi faktor yang penting dalam memastikan terdapat pertumbuhan yang baik di dalam gereja dalam rangka mempertahankan kekhususannya atau tetap dalam kondisi sehat. Sama halnya dengan peran besar para Rasul dalam Menurut Alex Stefanus Ginting, 2021 mengutip Peter Wongso, gereja sehat adalah gereja yang berfungsi dengan baik dan mengalami Nicolas 524 pertumbuhan secara rohani dan juga secara kuantitas. Namun, pada realitasnya terdapat sejumlah gereja yang tidak menunjukkan kriteria atau tanda gereja yang sehat, sehingga bukannya menjadi saksi dan terang, tetapi menjadi dipertanyakan status kekudusannya sebagai organisme Ilahi dan pengikut Kristus. Oleh karena itu, gereja yang sakit menurut Setiawan, 2019 menjadi alasan gereja tidak bertumbuh dan mempunyai sifat duniawi. Perselisihan demi perselisihan yang bahkan berujung kepada perpecahan gereja menjadi sebuah tren dikarenakan keinginan-keinginan daging dan sifat egois masih ditemukan dalam komunitas umat percaya tertentu, sehingga dengan jelas menggambarkan kondisi kesehatan gereja yang sesuai dengan yang seharusnya. Whitney, 2018 berpendapat bahwa dikarenakan kasih adalah tanda dan karakteristik Kekristenan, walau gereja mampu berkhotbah, bersaksi, mengajar, gereja tidaklah sehat tanpa tanda pertumbuhan dalam hal kasih yang merupakan hal yang paling spesial bagi umat Kristiani. Menurut Widi Artanto, 2008, gereja bukanlah Kerajaan Allah, tetapi gereja adalah instrumen atau alat dan tanda dari Kerajaan Tuhan yang akan datang di dunia. Maka, gereja melalui kasih sebagai ciri khas dan sebagai alat Tuhan dipanggil untuk berkarya di tengah dunia, sehingga melalui kesehatian dan kesatuan dalam kebersamaan, dunia menyaksikan sinar kemuliaan Kristus yang terpancar, sehingga menarik perhatian dan kerinduan dunia sekitar gereja kepada persekutuan orang percaya sebagai keluarga Allah. Gereja mula yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul 432 mencerminkan model gereja dan pelayanan yang ideal dan sehat di mana terdapat nilai-nilai kasih yang mengimplementasikan kehendak dan kerinduan hati Allah, dalam rangka menghasilkan kualitas dan perluasan Kerajaan-Nya di bumi. Itu searah dengan pendapat Yulia Darlin et al., 2020 yang menyatakan bahwa gereja perdana pada masanya saling mempraktikkan kasih satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penulis sependapat dengan Rajagukguk dan Whitney bahwa gereja merupakan Tubuh Kristus yang mempunyai tanggung Formosa Journal of Multidisciplinary Research FJMR 2022 521-532 525 jawab menjadi terang dan garam bagi sekitarnya melalui kasih yang merupakan tanda dan ciri khas Kekristenan, sehingga berbeda pendapat dengan Widi Artanto, penulis melihat gereja bukan sekedar alat atau instrumen dari Kerajaan Allah yang akan datang, tetapi gereja benar-benar merupakan Kerajaan Allah di bumi oleh karena Kristus adalah Kepala gereja, dan Roh-Nya tinggal sebagai materai di dalam setiap orang percaya sehingga memungkinkan dan memampukan gereja bersinar dan menjadi saksi di tengah dunia melalui tindakan kasih yang nyata sebagai tanda gereja yang sehat. Maka, penulis bertujuan menganalisis model pelayanan jemaat mula-mula berdasarkan Kisah Para Rasul sebagai suatu teladan bagi gereja masa kini. METODOLOGI Tujuan penelitian ini adalah menganalisis model pelayanan jemaat mula-mula berdasarkan Kisah Para Rasul sebagai suatu teladan bagi gereja masa kini. Metode yang digunakan adalah kualitatif eksegesis dan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku maupun jurnal yang membahas topik yang sesuai kebutuhan. Penulis menganalisis teks Kisah Para Rasul 4 dalam rangka memperoleh teori-teori yang dasar atau Grounded Theory Moleong, 2021, dan juga mendeskripsikan teks secara holistik dan juga komprehensif H., 2020. HASIL PENELITIAN Latar Belakang Kisah Para Rasul Lukas merupakan penulis Kisah Para Rasul yang merupakan sambungan dari Injil Lukas yang ditujukan kepada Teofilus baik Injil yang mengisahkan kehidupan maupun ajaran dari Yesus dan juga karya Kristus yang telah menghasilkan sebuah gerakan yang mengguncangkan dunia karena tampil dengan nilai-nilai yang berbeda dari kebiasaan yang ada sebelumnya, sebab melalui jemaat-jemaat Allah sebagai gereja Tuhan, kewajiban mengasihi satu dengan yang lain menjadi standar gereja yang seturut dengan agenda dan Nicolas 526 panggilan Allah yaitu gereja yang sehat dan proaktif dalam menyaksikan Kristus. A. Gereja Sehat dan Proaktif Dalam Menyaksikan Kristus. Menyaksikan Kristus menjadi tugas gereja yang sesuai dan seirama dengan rencana Allah. Maka gereja yang dalam kondisi apa pun dan kapan pun waktunya perlu proaktif melaksanakan Amanat Agung yang telah diperintah dan juga dipercayakan oleh Allah. Jemaat Mula-Mula Melayani Dengan Model Kesehatian Maupun Kesatuan yang Menumbuhkan Kerajaan Allah Sebagai Teladan Bagi Gereja Masa Kini Gereja Perdana sebagai teladan dan pelopor bagi gereja masa kini hidup bukan saja dalam kebersamaan, tetapi juga dalam kesehatian. Sebab tidak secara otomatis kebersamaan identik dengan kesehatian. Hal tersebut dengan perpecahan yang terjadi di sebagian gereja di mana jemaat berkumpul setiap hari Minggu maupun tengah Minggu untuk melaksanakan berbagai kegiatan dalam kebersamaan, tetapi pada kenyataan dengan motivasi yang berbeda satu dengan yang lain. Namun, dalam jemaat mula berdasarkan Kisah Para Rasul 432, terdapat bahwa mereka sebagai umat Allah berkumpul dalam kesehatian dan satu pikiran yang disaksikan melalui kepedulian satu dengan yang lainnya. PEMBAHASAN Dalam Kisah Para Rasul 432 firman Tuhan menyatakan terdapat persekutuan orang-orang percaya dengan sehati dan sejiwa. Kata sehati yang dalam bahasa Yunani dengan istilah καρδιά atau “kardia” yang merujuk pada hati nurani yang juga berbicara tentang kemurnian hati, motivasi yang tulus terhadap sesama, yang tentunya diawali dengan takut dan cinta akan Tuhan. Kata yang kedua “sejiwa” yang dalam bahasa Yunani ψυχή atau disebut “psyche” dan yang dimaknai sebagai roh, akal budi atau pikiran. Jadi dapat dipahami bahwa istilah sehati dan juga sejiwa, berbicara tentang kesehatian yang terdapat di dalam persekutuan jemaat di mana motivasi dalam melayani adalah dengan kemurnian hati atau dengan hati nurani yang baik, sepikir dan Formosa Journal of Multidisciplinary Research FJMR 2022 521-532 527 satu tujuan dalam kehidupan bersama, yaitu memuliakan Allah. Hal ini searah dengan yang disampaikan oleh Eldista Limbongbua, 2022 bahwa kesehatian merupakan prioritas dalam satu persekutuan sehingga dengan demikian ego ditiadakan di dalamnya. Kisah Para Rasul 244-47 menggambarkan model pelayanan yang sama di mana kesatuan tetap menjadi ciri khas jemaat mula yang memiliki kebiasaan berbagi antara mereka dengan kasih, dalam rangka memenuhi kebutuhan kolektif dan mempertahankan kesehatian dalam persekutuan hari lepas hari dalam ketulusan hati, sukacita dan ibadah, sehingga mengakibatkan mereka menjadi perhatian dan kesukaan bagi semua orang yang terdapat di sekitar mereka, dan banyak orang diselamatkan melalui pelayanan mereka oleh anugerah Tuhan. Hal yang serupa di sampaikan oleh Ambarita, 2018 dengan menyampaikan bahwa dalam kehidupan jemaat perdana, terlihat mereka menjunjung tinggi nilai-nilai kristiani walaupun pada kenyataannya mereka budaya dan latar belakang mereka sebagai pengikut sejati agama Yahudi. Kesehatian dilandaskan pada kesadaran akan status sebagai umat Tuhan yang memiliki panggilan dan tujuan hidup yang sama. Sebab melalui kelahiran baru, terdapat sebuah perubahan pola pikir yang seturut dengan apa yang dikehendaki Allah sebagai awal dan dasar dari tindakan apa pun yang akan dilakukan. Oleh karena itu, hati nurani jemaat mula terbukti setelah peristiwa hari Pentakosta berfungsi dengan benar sehingga mereka dalam berperilaku terdorong oleh motivasi yang murni dalam kebersamaan. Maka, Jevri Terok, 2017 berpandangan bahwa keselarasan menjadi kebutuhan di dalam persekutuan jemaat, sehingga dalam rangka mencapainya semuanya dalam kebersamaan harus mengusahakannya. Nicolas 528 Di lain sisi, kesehatian tidak dapat dipisahkan dari kesatuan dalam kebersamaan. Sebab tanpa kesatuan mustahil terdapat kesatuan di tengah jemaat, dan kesatuan merupakan buah dari kasih yang terdapat di hati setiap orang yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan pribadi dalam hidupnya. Maka, Kisah Para Rasul 432 mencatat bahwa bukan saja persekutuan orang percaya sehati dan sejiwa, tetapi juga di dalam persekutuan tersebut tidak terdapat satu orang pun yang menyampaikan atau menganggap memiliki sesuatu sebagai pribadi, namun apa pun yang adalah milik pribadi setiap mereka dijadikan milik bersama, tanpa membedakan siapa yang memberi lebih atau pun kurang. Apa bila diamati di dalam Kisah Para Rasul 61-5, Alkitab memberi keterangan bahwa ketika terjadi perselisihan antara jemaat akibat sungut-sungut dikarenakan terdapat kelalaian dalam pelayanan kasih yang seharusnya ditujukan kepada para janda-janda, sehingga para Rasul memandang perlu menertibkan mereka, tetapi dengan cara mengumpulkan semua dan dalam kesatuan dan kasih, bersama disepakati jalan apa langkah yang diperlukan untuk keharmonisan dan efisien pelayanan tetap menjadi bagian dari pelayanan mereka. Selain kesatuan tujuan dan visi, kepedulian di antara mereka menjadi sangat kuat sehingga sifat egois dengan sendirinya dilenyapkan. Oleh karenanya Mark Dever, 2013 berpendapat bahwa jemaat sebagai anggota gereja bertanggungjawab saling menunjukkan kasih dan simpati yang terungkap melalui kesatuan. kewajiban dan tanggung jawab anggota gereja kepada satu sama lain merangkumkan kehidupan kasih. Sebagai pengikut Yesus Kristus, orang Kristen wajib saling mengasihi. Apa bila tidak demikian, keangkuhan akan ambil alih dan pada akhirnya pasti terjadi perselisihan di dalam komunitas orang percaya, dan hal tersebut merugikan gereja dan tujuannya di dunia. Sebab di dalam gereja yang sehat, terdapat kesatuan yang membuahkan kesehatian sebagai penggerak bagi semua orang yang terdapat dalam kumpulan mereka yang mengiring Yesus dalam melaksanakan misi gereja sebagaimana seharusnya. Maka, Chamblin, Formosa Journal of Multidisciplinary Research FJMR 2022 521-532 529 2011 mengungkapkan bahwa pertengkaran dengan sesama berasal dari keangkuhan yang pada akhirnya membuat hubungan dengan Allah pun tidak baik. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Gereja sebagai lembaga rohani dan milik kepunyaan Allah pada hakikatnya harus sehat dengan menunjukkan ciri kesehatian dan kesatuan dalam kebersamaan jemaat, sehingga dengan demikian nama Tuhan dimuliakan. Kesehatian dan kesatuan berjalan bersama dan tidak mungkin dipisahkan, sebab tanpa salah satu dari kedua-duanya, kasih Kristus ditiadakan dan di mana tidak terdapat kasih, tidak juga terdapat keadaan gereja yang sehat. Sebab gereja yang sehat mengasihi dikarenakan di dalamnya jemaatnya sudah dipenuhi dengan kasih Kristus yang murni dan sempurna. Oleh karena itu, walaupun di era dan dengan figur yang beda, gereja masa kini dapat belajar dari pola pikir gereja mulai, sehingga sama seperti gereja mula, hasil luaran dari pelayanan yang dipraktikkan juga menghasilkan buah yang serupa dengan mereka sebagai pendahulu. PENELITIAN LANJUTAN Dalam rangka menindaklanjuti hasil penelitian ini, dengan menyadari ketidaksempurnaan naskah ini, penulis berencana meneliti tentang “Model Pelayanan Yesus Kristus dan Peran Roh Kudus Bagi Pertumbuhan Rohani Jemaat di Masa Pandemi”, sebab seperti diketahui, pandemi Covid-19 belum selesai dan gereja mengalami kesulitan dalam menentukan pola dan tipe pelayanan yang efektif dalam rangka memenuhi apa yang menjadi kebutuhan jemaat, mengingat pandemi yang memasuki babak baru berpotensi menambahkan tekanan secara psikologis bagi semua orang, termasuk orang-orang percaya. Nicolas 530 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Sekolah Tinggi Katharos dan ketuanya, rekan dosen, jemaat Gereja Bethel Indonesia Parakletos Cengkareng, Ketua Yayasan Anak Bethel Indonesia atas dukungan dan semangat yang terus diberikan kepada penulis, sehingga dalam kemurahan Allah, naskah ini dapat rampung dalam anugerah Tuhan. Formosa Journal of Multidisciplinary Research FJMR 2022 521-532 531 DAFTAR PUSTAKA Alex Stefanus Ginting. 2021. Gereja sehat Tinjauan Biblika Tentang Konsep Gereja Sehat Berdasarkan Surat 1 Korintus 3. Prosiding Seminar Nasional STT Sumatera Utara, 11, 30–42. Ambarita, D. 2018. Perspektif Misi Dalam Perjanjian Lama & Perjanjian Baru. Pelita Kebenaran Press. Chamblin, J. K. 2011. Paulus Dan ajaranNya. Momentum. Djone Georges Nicolas, Soneta Sang Surya Siahaan, T. A. 2022. Krisis Kasih Dalam Gereja Sebagai Refleksi Bagi Kehidupan Orang Percaya Masa Kini. Jurnal Syntax Transformation, 34, 562–569. Djone Georges Nicolas, T. M. 2021. Krisis Keteladanan Kepemimpinan Gereja Fondasi Gembala Sebagai Pemimpin Gereja Berdasarkan 1 Petrus 52-4. Syntax Idea, 32, 283–290. Eldista Limbongbua. 2022. Kajian Teologis Kisah Para Rasul 432-37, Kaitannya Dengan Perilaku Hidup Jemaat Masa Kini. Jurnal TEO PB, 1. H., A. 2020. Metode Penelitian dan Perkembangan. Journal of Undergraduate, Social Science and Technology. 3–9. Jevri Terok. 2017. Mengatasi KetidakSelarasan Dalam Jemaat, Logon Zoes Jurnal Teologi. Logon Zoes Jurnal Teologi, Sosial Dan Budaya, 11, 18–31. Mark Dever. 2013. 9 Tanda Gereja Yang Sehat 2nd ed.. Momentum. Moleong Lexy J. 2021. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Rajagukguk, J. 2018. Pemimpin Dan Gereja Bertumbuh. Diegesis Jurnal Teologi. Setiawan, David Eko, D. Y. 2019. Signifikansi Salib Bagi Kehidupan Manusia Dalam Teologi Paulus. FIDEI Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 22, Nicolas 532 27–46. Whitney, D. S. 2018. Spiritual Check-up. Yayasan Gloria. Widi Artanto. 2008. Menjadi Gereja Yang Misioner Dalam Konteks Indonesia. Taman Pustaka Kristen. Yulia Darlin; Ragil Kristiawan; Rudy Chandra Saputra. 2020. Nilai-nilai Kehidupan Kristiani Menurut Kisah Para Rasul 432-37. JTS Journal of Theological Students, 101, 24–32. ... , hidup dan mati, dan mereka dipersatukan dengan tubuh kebangkitan Kristus dan dengan demikian dipersatukan dengan kehidupan ilahi, dipersatukan dalam kemuliaan Allah Theosis. Nicolas 2022 Untuk mengklarifikasi kelahiran sebagai titik awal Pendidikan karakter unggul dalam diri manusia, penulis memahami bahwa kelahiran baru adalah titik awal dalam pelatihan karakter yang sangat baik. Tanpa kelahiran baru, demikian pula harapan akan karakter yang lebih baik. ...Ernauli Maharani MarbunKurnia Novita HarianjaIrma Farida BatubaraGunawan PasaribuPenelitian ini dilatarbelakangi bahwa jemaat pemula perlu bertumbuh dan berbuah, berkenaan dengan hal itu kelahiran baru adalah penyatuan antara manusia dengan Kristus. Di dalam kehidupan yang baru, orang yang telah dilahir barukan itu memiliki persekutuan yang intim bersama Kristus, mereka dikenal dan dikasihi Allah. Sehingga warga gereja pemula akan mampu melayani dengan baik jika mereka dibina dengan baik pula. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini studi kualitatif deskriptif kepustakaan dengan menelaah berbagai literatur yang berkaitan dengan pokok masalah yang di bahas. Melalui kajian dan analisis yang mendalam diharapkan memberikan langkah-langkah strategi yang konkrit bagi Pembina dalam merencanakan dan melakukan pembinaan warga gereja pemula dengan efektif. Hasil penelitian ini memberikan langkah-langkah strategi dan model pembinaan rohani yang akurat dan terukur yaitu melalui pengajaran firman Tuhan, pelayanan khusus, pemuridan, kelompok kecil, dan melalui keterampilan Georges NicolasTirza ManaroinsongPresiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi Negara Republik Indonesia pada tanggal 13 Januari 2021 telah memberi teladan sekaligus membuktikan janjinya menjadikan dirinya orang pertama yang disuntik vaksin Covid-19 Sinovac. Kepemimpinan gembala yang pada dasarnya bertujuan melayani, merawat dan memenuhi kebutuhan jemaat sebagai domba-domba yang telah dipercayakan Tuhan sedang bergeser arah dan mulai kehilangan maknanya. Sebab kepemimpinan mulai digunakan sebagai “prestige” sang pemimpin dan sarana untuk meraih keuntungan pribadi, sehingga kepemimpinan gembala bukan lagi dipandang sebagai kepercayaan dan amanah dari Tuhan, tetapi menjadi tuntutan untuk dilayani dan mengabaikan keteladanan yang menjadi tanggungjawabnya bagi mereka yang dipimpinnya. Bukan lagi menjadi berkat, tetapi sebaliknya menjadi batu sandungan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan analisa literatur, dengan tujuan menganalisa krisis keteladanan kepemimpinan gereja dan peran gembala sebagai pemimpin gereja berdasarkan 1 Petrus 52-4. Pengumpulan data melalui sumber buku-buku, jurnal-jurnal, wawancara, artikel digital, dan dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Hasil penelitiannya adalah Pertama, gembala sebagai pemimpin gereja perlu menyadari bahwa kepemimpinan-nya merupakan kepercayaan dan amanah dari Tuhan. Kedua, kualitas kepemimpinan gembala harus unggul dari kepemimpinan pada umumnya dengan memberi keteladanan melalui kesukarelaan dan pengabdian diri dalam melayani jemaat yang dipimpinnya. Ketiga, terdapat penghargaan yang bersifat kekal bagi gembala yang memimpin dengan memberi sehat Tinjauan Biblika Tentang Konsep Gereja Sehat Berdasarkan Surat 1 Korintus 3. Prosiding Seminar Nasional STT Sumatera UtaraAlex StefanusAlex Stefanus Ginting. 2021. Gereja sehat Tinjauan Biblika Tentang Konsep Gereja Sehat Berdasarkan Surat 1 Korintus 3. Prosiding Seminar Nasional STT Sumatera Utara, 11, Misi Dalam Perjanjian Lama & Perjanjian BaruD AmbaritaAmbarita, D. 2018. Perspektif Misi Dalam Perjanjian Lama & Perjanjian Baru. Pelita Kebenaran Georges NicolasSoneta Sang Surya SiahaanDjone Georges Nicolas, Soneta Sang Surya Siahaan, T. A. 2022. Krisis Kasih Dalam Gereja Sebagai Refleksi Bagi Kehidupan Orang Percaya Masa Kini. Jurnal Syntax Transformation, 34, Teologis Kisah Para RasulEldista LimbongbuaEldista Limbongbua. 2022. Kajian Teologis Kisah Para Rasul 432-37, Kaitannya Dengan Perilaku Hidup Jemaat Masa Kini. Jurnal TEO PB, Penelitian dan PerkembanganH., A. 2020. Metode Penelitian dan Perkembangan. Journal of Undergraduate, Social Science and Technology. TerokJevri Terok. 2017. Mengatasi KetidakSelarasan Dalam Jemaat, Logon Zoes Jurnal Teologi. Logon Zoes Jurnal Teologi, Sosial Dan Budaya, 11, Penelitian Kualitatif. PT Remaja RosdakaryaMoleong LexyMoleong Lexy J. 2021. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Dan Gereja Bertumbuh. Diegesis Jurnal TeologiJ RajagukgukRajagukguk, J. 2018. Pemimpin Dan Gereja Bertumbuh. Diegesis Jurnal SetiawanD Y EkoSetiawan, David Eko, D. Y. 2019. Signifikansi Salib Bagi Kehidupan Manusia Dalam Teologi Paulus. FIDEI Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 22, Nicolas 532 27-46.
  • Գухω οз ο
  • Ըбαդиηուхр ኼռаψኤգևռа
    • Ноδαλιփи θሁխшեፁохя
    • Еժеζሢви маչωዜ
  • И щ ዪиዟ
Jemaatperdana, belum mengenal konflik ideologis antara kapitalis versus komunis, liberal versus komunitarian, modernism versi posmo, dst. Dalam kondisi turbulensi dan stagnasi itu maka kita perlu transformasi. Dan momen Pentakosta dapat menjadi energi terbarukan untuk mendorong transformasi itu. Dengan begitu, daya dorong transformasi bukan
Kesulitan Gereja pada Masa SekarangDaftar Tantangan Gereja pada Masa Kini1. Tantangan Eksternal2. Tantangan Internal3. Tantangan IndividualismeCara Melakukan Transformasi HatiKesulitan Gereja pada Masa – Tantangan gereja masa kini. Saat ini kita telah hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman ketika Alkitab diturunkan. Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakan Alkitab tetap relavan?Jawabannya sudah pasti ya, sebab Alkitab memang ditulis agar bisa digunakan oleh umat manusia sebagai petunjuk hidup yang kekal dan abadi. Pastinya, apa yang ditulis di Alkitab relevan hingga masa mungkin kesulitannya adalah ada beberapa tantangan gereja yang kerap terjadi sehingga keyakinan-keyakinan dan nilai mereka dalam menjawab tantangan logis masa kini kerap tidak garis besar ada berbagai jenis tantangan dalam gereja di masa kini, mulai dari tantangan eksternal, internal, dan individualisme. Tapi mungkin tak banyak yang menyadarinya sehingga tidak dari itu pada kesempatan ini kami ingin menjelaskan dan membagikan kumpulan daftar hal-hal yang menjadi tantangan gereja di masa sekarang. Anda bisa menyimak ulasan lengkapnya di bawah Tantangan Gereja pada Masa KiniBerikut di bawah ini adalah sejumlah tantangan dalam gereja yang mungkin tidak kita sadari lengkap dengan cara mengatasinya. Simak ulasannya pada pembahasan di Tantangan EksternalZaman postmodern pada masa sekarang telah berperan banyak untuk menghidupkan moralitas baru dengan standar pribadi, seperti jalinan sesama dan poligami. Standar tersebut bahkan tampak menjadi agama baru menggantikan kekristenan. Hal ini bertentangan bersama rencana Tuhan di dalam penciptaan Manusia Kejadian 218.Banyak pula propaganda, isu radikalisme agama, seperti propaganda, maupun beragam gerakan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang tega melakukan tindakan ekstrim. Hal ini seolah-olah menyudutkan tiap-tiap gereja. Ini juga menghidupkan tanda-tanda intoleransi dan fanatisme agama serta ekslusivisme yang terlalu berlebih di dalam jalinan sosial keagamaan di ini, banyak pemuda–pemudi Kristen mudah terjerat pada kesesatan informasi, provokasi, dan berita palsu yang menjadi viral di sarana sosial. Sehingga mereka sanggup menjadi sasaran utama rekrutmen grup radikal yang mengembangkan jaringan, sebagai berikutMaraknya beragam ajaran sesat dan bidat yang memiliki aliran-aliran sesat, seperti Gnostik, Mormonisme, Christian Science, Saksi Yehova dan sebagainya. Hal ini bertentangan bersama peringatan Yesus pada murid-muridNya Matius 243-14; 1 Timotius 13; Roma 1617Penganiayaan pada orang-orang Kristen dianggap sebagai antisosial dan penyebab kerusuhan. Seperti yang dikisahkan berkenaan penganaiyaan pada Stefanus martir Kristen dan sejumlah jemaat Yerusalem Kisah Para Rasul 754-83.Manusia yang tambah pintar dan hidup jadi seakan-akan tidak ulang perlu Tuhan. Hal ini bertentangan bersama tekad Allah Roma 1216 “tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!”.Kehampaan hidup seringkali terjadi, meski diisi bersama beragam kecanggihan peradaban dunia. Contohnya adalah banyak gereja mencerminkan dunia bersama secara pragmatis menghalalkan segala cara. Hal berikut bertentangan bersama jemaat di Sardis udah menjaga reputasi mereka bersama langkah kompromi Wahyu 34-6.2. Tantangan InternalPerpecahan gereja karena persoalan uang, beda penafsiran, perbedaan keperluan grup dan sebagainya 1 Korintus 3 3. Perpecahan harus berjalan untuk menyaksikan siapakah yang tahan uji. Tetapi, jangan hingga kitalah yang menjadi sumber perpecahan itu. Kita harus ingat memang Yesus tidak berharap perpecahan Matius 1225.3. Tantangan IndividualismeKadang manusia sangat sibuk dengan dunianya, contohnya adalah generasi milenial sering tergantung pada dunia maya. Sehingga gadget sudah menjadi berhala’ jenis baru. Terlihat berasal dari tiap-tiap jemaat jarang mempunyai printed bible karena Alkitabnya udah menjadi digital bible di HP atau lebih menyedihkan selama kebaktian berlangsung, mereka selamanya bermain sarana sosial, seperti Facebook, Instagram, dan sebagainya. Inilah permulaan hedonisme dan materialisme yang sering dijalankan oleh orang Kristen Yakobus 41-56; 1 Yohanes 2 15-17.Tidak tersedia kasih persaudaraan yang pengaruhi kompetisi individu apalagi antar bangsa. Contohnya adalah perzinahan dan perceraian. Banyak yang tidak pikirkan pada sesama dan tidak berkomitmen untuk memprioritaskan Alkitab sebagai pedoman utama di dalam hidup Melakukan Transformasi HatiKita sebagai anak Tuhan harus jalankan transformasi hati yang cocok bersama pandangan John Stott yang berisi “The heart of human gangguan is the gangguan of the human heart”. Caranya untuk jalankan transformasi hati, diantaranyaPerlu kerelaan hati untuk ulang dibentuk oleh Tuhan walau prosesnya tidak mudah. Kita harus berdiam diri di hadapan Tuhan untuk berharap Tuhan mengubah hati kita. Meskipun kita sebagai gereja memiliki cacatnya, tetapi kita akan dibentuk ulang oleh Roh Kudus pada selagi kita berkunjung kepada Tuhan. Harus mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun Roma 1419.Memberitakan Injil kepada siapa saja yang belum percaya. Memberitakan Injl adalah sebuah keharusan dan kewajiban bagi orang percaya untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kemegahan diri 1 Korintus 916 supaya kita sanggup tahu maksud dan rencana Tuhan Matius 28 19.Harus bersatu dan sehati sepikir bersama pelayan – pelayan yang lain 1 Korintus 110-17; 1 Korintus 39. Tetapi pergunakanlah karunia yang tersedia pada kita untuk membangun tubuh kristus. Untuk membangun jemaat, kita adalah tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya 1 Korintus 1227; Efesus 530; 2 Timotius 224.Gereja harus tidak dulu jenuh untuk konsisten mengingatkan jemaatnya di mana tiap-tiap manuasi harus berperilaku yang benar atas gadget, yaitu secara regular dan indah jikalau kita menghalau gadget dan berkomunikasi verbal bersama keluarga kita di rumah atau bersama sesama di area susah dan tantangan yang sering dihadapi, kita harus selamanya setia mobilisasi perintah-Nya bersama memiliki hati yang peka pada sesama dan memiliki jiwa yang tulus supaya siapa saja ingin bertobat dan diselamatkan lantas meraih keselamatan, yang merupakan anugerah Tuhan Yohanes 316; 1 Timotius 24; 2 Petrus 39.Akhir KataDemikian ulasan pembahasan tentang tantangan gereja pada masa kini. Mudah-mudahan kita bisa memahaminya sekaligus mengantisipasinya dalam kehidupan bergereja Ajaran Kristen AdventSejarah Gereja Advent Masuk IndonesiaTanggung Jawab Suami ke Istri dalam Kristen
\n \n\n \n \nperbedaan gereja perdana dan gereja masa kini
Halyang tidak terbantahkan dilakukan oleh gereja masa kini adalah melakukan pemberitaan Injil di tempat-tempat di mana nama Kristus sudah dikenal orang. Maka yang terjadi adalah pemindahan jiwa dari satu gereja ke gereja lain, bukannya memenangkan jiwa. Memindahkan ikan dari satu kapal ke kapal yang lain, bukannya menjaring jiwa-jiwa. Apa Kamu Masih Beribadah Seperti Cara Gereja Mula-mula? seven Fakta Ini Perlu Kamu Tahu… Lori Official Writer Di masa Yesus, Dia dan murid-murid-Nya selalu berkumpul di hari pertama setiap minggunya. Mereka juga suka datang ke ibadah-ibadah di sinagoge dengan teratur. Tapi setelah kebangkitan Yesus, murid-murid-Nya tak lagi diterima di sinagoge. Hal ini mendorong murid-murid untuk mengadakan pertemuan mingguan mereka dengan berkumpul bersama. Tujuannya pun sangat sederhana yaitu untuk mengingat segala perbuatan Yesus. Itulah yang kemudian dikenal dengan kebiasaan gereja mula-mula. Tapi sekarang, tradisi berkumpul itu mulai berubah menjadi perkumpulan dengan tujuan yang berbeda-beda dari satu gereja dengan gereja yang lain. Gereja saat ini mulai kehilangan fokusnya kepada Tuhan sendiri. Ada beberapa gereja yang hanya berkumpul untuk tujuan belajar tentang bisnis, membangun diri sendiri, belajar soal moralitas dan belajar kunci menjadi kaya. Beberapa gereja lain berkumpul untuk mendengar khotbah atau guru terkenal. Alasannya bisa bermacam-macam. Padahal, orang-orang Kristen seharusnya menyadari kalau ada tujuan yang paling mendasar dari sekadar alasan seperti di atas. Berikut terdapat 7 perbedaan ibadah atau perkumpulan gereja mula-mula dengan gereja saat ini. Mereka biasanya berkumpul bersama untuk tujuan-tujuan ini. 1. Merayakan Hari Tuhan Jemaat gereja mula-mula berkumpul bukan untuk sekadar mencari pemuasan diri atau mencari pengetahuan rohani dari pendeta kenamaan. Tapi mereka berkumpul secara khusus untuk merayakan hari Tuhan. Mereka memfokuskan diri untuk mengingat soal kematian dan kebangkitan-Nya. Mungkin kita perlu memperbaiki bagaimana kita menyebutkan Hari Minggu’ dengan Hari Tuhan’. Salah satu referensi Alkitab yang mengingatkan kita soal hal ini adalah dari ucapan Yohanes di Wahyu 1 10, “Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala…” 2. Bersekutu dalam kesatuan Jemaat gereja mula-mula bersekutu dalam kesatuan. Mereka melakukan hal itu sebagai deklarasi bersama bahwa gereja Tuhan itu satu baca Roma 10 9, one Korintus 12 3, Filipi ii 6-eleven, one Timotius 2 5, three 16. Dari sinilah pengakuan Iman Rasuli ada sebagai janji iman orang percaya kepada tritunggal, Bapa, Putra dan Roh Kudus. 3. Mendengar firman Tuhan Sepanjang ibadah atau perkumpulan orang-orang percaya di jaman gereja mula-mula akan dipenuhi dengan pembacaan firman Tuhan. Mereka menjalankan ibadah pembacaan Alkitab bersama atau yang disebut dengan liturgi. Sebagian besar isi kitab suci akan dibacakan sembari mengajak semua umat berdiri, setelah itu duduk kembali. Kebiasaan ini persis seperti ibadah di sinagoge dan menjadi simbol dari penghormatan kepada firman Tuhan baca 1 Tesalonika 5 27 dan Kolose 4 16. iv. Berdoa bersama Sebagai jemaat yang menjunjung kesatuan, jemaat gereja mula-mula selalu ibadah dan berdoa bersama. Kita melihat contoh ini dalam Kisah Para Rasul four. “Sesudah dilepaskan pergilah Petrus dan Yohanes kepada teman-teman mereka, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang dikatakan imam-imam kepala dan tua-tua kepada mereka. Ketika teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama kepada Allah..” Kisah 4 23-24a Para rasul juga selalu punya jam doa sebanyak tiga kali sehari. Doa-doa ini meliputi doa umum bagi semua orang. Baca Juga 12 Tingkah Nyeleneh yang Banyak Dilakuin Jemaat Gereja Saat Ibadah, Kamu Salah Satunya Gak five. Menghormati bait Allah Jemaat gereja mula-mula punya pemikiran yang sangat berbeda dengan gereja saat ini. Mereka percaya kalau saat beribadah, Tuhan dan juga malaikat-malaikat-Nya hadir di tengah-tengah mereka. Karena itulah mereka akan memasuki ruang maha kudus dengan penuh penghormatan, baik dari penampilan, sikap dan penyembahan. Mereka percaya bahwa menyembah Tuhan harus seperti yang dilakukan di surga. half-dozen. Kerap menggelar perjamuan kudus Gereja mula-mula kerap menggelar perjamuan kudus setiap minggunya. Mereka menyebutnya Ekaristi yang artinya perjamuan ucapan syukur. Perjamuan ini menjadi bentuk pernghormatan dan ucapan terima kasih kepada Yesus atas kematian-nya. Selain itu, mereka juga percaya bahwa dengan tubuh dan darah Yesus, mereka telah ditebus sepenuhnya dari dosa. Hal ini persis seperti yang dilakukan Yesus dalam peristiwa pelipatgandaan roti dan ikan. 7. Tetap menghormati Maria Orang Kristen mula-mula sangat menghormati peran Maria dalam keselamatan umat manusia melalui Yesus. Karena itulah mereka menyebutnya sebagai Pembawa Tuhan’ dalam artian wanita yang telah mengandung Tuhan. Karena itulah dia patut disebut dengan Bunda Allah’. Penghormatan ini masih sangat kental di Katolik. Sebaliknya, gereja karismatik maupun protestan Lutheran tak begitu menonjolkan Maria, namun rasa hormat atas kepatuhannya dan perannya dalam kedatangan Yesus tak pernah berkurang. Bagi gereja saat ini, Maria masih tetap jadi tokoh wanita Alkitab yang patut diteladani. Demikian beberapa fakta yang bisa kita pelajari dari cara hidup jemaat gereja mula-mula. Dan mari belajar untuk mengembalikan ibadah yang sejati kepada Tuhan. Jangan pernah mengubah tujuan penyembahan kita hanya untuk agenda-agenda duniawi kita. Sebab Tuhan memanggil gereja-Nya untuk memberitakan tentang kabar keselamatan yang dilakukannya kepada semua orang dan bangsa. Karena itulah Yesus harus jadi kepala atas setiap gereja-Nya. Sumber Halaman one Selainitu di Gereja Ortodoks ada yang dikenal dengan Api Suci, atau api yang sering muncul di Paskah Gereja Ortodoks. Api Suci ini punya mukjizat yang luar biasa, seperti yang terjadi di Gereja Asal Usul Perkembangan Gereja Mula-mulaPengertian Gereja PerdanaPerkembangan Gereja PerdanaPeran Simon PetrusAjaran Gereja PerdanaAsal Usul Perkembangan Gereja – Sejarah gereja perdana. Gereja perdana, gereja mula-mula, jemaat perdana, atau kekristenan mula-mula merujuk pada kekristenan pada masa antara penyaliban Yesus da Dewan Nicaea tersebut terjadi pada abad ke 4 Masehi. Sumber sejarah utama mengenai Kekristenan di abad pertama adalah kibat Kisah Para Rasul. Mulanya Gereja Kristen terpusat di satu kota yakni satu pemimpinnya, Yakobus dari Yerusalem merupakan adik Yesus dan mati sebagai martir pada sekitar tahun 62 Masehi. Setelah Amanat Agung diberikan, Para Rasul kemudian melaksananan aktivitas tersebut dilakukan dengan menyebarkan Kekristenan ke kota-kota di seluruh dilayah dunia Helenistik, seperti Aleksandria, Antiokhia, Roma, serta ke luar Kerajaan banyak hal yang perlu kita ketahui tentang sejarah gereja perdana. Anda bisa menyimak secara lengkap ulasan yang kami tulis ini dirangkum dari berbagai sumber Gereja PerdanaPengertian gereja perdana adalah gereja yang pertama kali berdiri. Artinya, gereja ini terbentuk dari perkumpulan umat yang saling percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Guru, sekaligus yang menceritakan mengenai Yesus Kristus berawal berasal dari Yesus Kristus wafat, lantas dimakamkan dan bangkit ulang lantas naik ke surga. Setelah itu para pengikut Yesus Kristus bersatu membentuk suatu pengadilan yang diatur Pemerintahan Romawi yang dialami Yesus Kristus, ketika sidang berjalan sebagian umat-Nya tidak menyingkir, mereka mengendap-endap dari kejauhan menyaksikan secara segera Gurunya diadili dan dibawa ke sesuai bersama perkataan dan perintah berasal dari Yesus Kristus, para pengikutNya sadar dan seluruh udah berjalan sesuai bersama apa yang udah disampaikanNya. Sejak selagi itu mulai berdiri gereja, jemaat atau pengikut Gereja PerdanaJemaat gereja yang sudah tersebut berkumpul untuk memperlihatkan bahwa mereka plaingpantas disebut sebagai penerus ajaran murid Kristus. Mereka berlomba menyaksikan siapa yang paling kompeten akan pengajaran murid Kristus. ini disebabkan karean kelompok ini berebut untuk diakui sebagai gereja ini dapat berusaha untuk melaksanakan kebiasaan-kebiasaan Gereja Perdana dan dapat mengikutinya sebagai normalitas hidup mereka dan hal ini adalah kegunaan berdoa bagi orang Yesus Kristus tetap bersama para murid-muridNya di dalam Injil Matius Mat1618 yang berbicara “dan Akupun berbicara kepadamu Engkau adalah Petrus dan di atas abtu karang ini Aku dapat mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak dapat menguasainya”.Yesus dan para pengikutnya pada ayat selanjutnya dijelaskan gereja dan jemaat sudah didirikan oleh para murid Kristus. Mereka sangat percaya bahwa pimpinan berasal dari murid-murid Kristus adalah Petru si Batu Karang atau si merupakan murid yang paling kerap tampil dan diakui sebagai juru berbicara salah satu pada murid Kristus, hal ini bisa dicermati berasal dari Kisah Para Rasul di Perjanjian Simon PetrusPada Injil Yohanes yang merupakan salah satu berasal dari empat Injil Kanonik, terdapat pada Yoh 2115-17 yakni bahwa Yesus Kristus pernah sampai tiga kali memberi perintah pada Petrus untuk menggembalakan domba-domba yang dimiliki oleh perdana pada akhirnya diangap tak pernah lepas dari Simon Petrus. Sehingga para kumpulan yang tersedia beranggap mereka adalah kumpulan pengikut Kristus dan menempatkan Petrus sebagai gembala Gereja PerdanaDalam Yesus, Allah udah jadi manusia Yoh 114 yang artinya bisa dicermati dan nampak bersama kasat mata 1 Tim 316, 1 Yoh 1 1 dan bersama ini bisa Allah dijelaskan sebagai gambaran sosok manusia, menyatakan ke-Allahan-Nya yang tidak terlihat. Dalam Gereja Perdana sangat melarang gunakan patung, melainkan gunakan dan lebih tekankan sebagai sebuah Ikon. Karena Yesus Kristus lah Allah itu Kol 115.Kita bisa mengambil sebagian pelajaran dari sejarah perkembangan gereja perdana, yakni kita perlu merefleksikan hidup dan mengambil pelajaran dari gereja abad pertama untuk mendapatkan kebolehan bertahan serta berkembang dalam Tuhan Yesus sesuai juga dapat mengajak untuk mengembalikan panggilan kita pada Gereja milik Kristus yang dibuat berasal dari batu karang yang teguh dan kuat. Sehingga pada tahun-tahun setelah itu bisa diteruskan ulang ajaran mata rantai Gereja Tuhan bersama pengenalan ajaran Kristus kepada generasi KataSekian ulasan singkat mengenai sejarah gereja perdana kristen. Semoga dapat membuat kita mengetahui sejarha asal mula didirikannya gereja perdana lengkap dengan Kesetiaan di dalam AlkitabPeran Gereja Sebagai Institusi SosialSusunan Acara Pernikahan Kristen di Gereja
Jemaatmula-mula merupakan jemaat sederhana, sedangkan jemaat masa kini adalah jemaat yang kompleks. Jemaat perdana tidak ada gadget dan internet yang karenanya membuat orang makin selfish. Jemaat perdana, belum mengenal konflik ideologis antara kapitalis versus komunis, liberal versus komunitarian, modernism versi posmo, dst.
Kesulitan Gereja pada Masa Sekarang Daftar Tantangan Gereja pada Masa Kini i. Tantangan Eksternal 2. Tantangan Internal three. Tantangan Individualisme Cara Melakukan Transformasi Hati Kesulitan Gereja pada Masa Sekarang – Tantangan gereja masa kini. Saat ini kita telah hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman ketika Alkitab diturunkan. Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakan Alkitab tetap relavan? Jawabannya sudah pasti ya, sebab Alkitab memang ditulis agar bisa digunakan oleh umat manusia sebagai petunjuk hidup yang kekal dan abadi. Pastinya, apa yang ditulis di Alkitab relevan hingga masa kini. Namun mungkin kesulitannya adalah ada beberapa tantangan gereja yang kerap terjadi sehingga keyakinan-keyakinan dan nilai mereka dalam menjawab tantangan logis masa kini kerap tidak maksimal. Secara garis besar ada berbagai jenis tantangan dalam gereja di masa kini, mulai dari tantangan eksternal, internal, dan individualisme. Tapi mungkin tak banyak yang menyadarinya sehingga tidak tahu. Maka dari itu pada kesempatan ini kami ingin menjelaskan dan membagikan kumpulan daftar hal-hal yang menjadi tantangan gereja di masa sekarang. Anda bisa menyimak ulasan lengkapnya di bawah ini. Daftar Tantangan Gereja pada Masa Kini Berikut di bawah ini adalah sejumlah tantangan dalam gereja yang mungkin tidak kita sadari lengkap dengan cara mengatasinya. Simak ulasannya pada pembahasan di bawah. i. Tantangan Eksternal Zaman postmodern pada masa sekarang telah berperan banyak untuk menghidupkan moralitas baru dengan standar pribadi, seperti jalinan sesama dan poligami. Standar tersebut bahkan tampak menjadi agama baru menggantikan kekristenan. Hal ini bertentangan bersama rencana Tuhan di dalam penciptaan Manusia Kejadian two18. Banyak pula propaganda, isu radikalisme agama, seperti propaganda, maupun beragam gerakan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang tega melakukan tindakan ekstrim. Hal ini seolah-olah menyudutkan tiap-tiap gereja. Ini juga menghidupkan tanda-tanda intoleransi dan fanatisme agama serta ekslusivisme yang terlalu berlebih di dalam jalinan sosial keagamaan di masyarakat. Saat ini, banyak pemuda–pemudi Kristen mudah terjerat pada kesesatan informasi, provokasi, dan berita palsu yang menjadi viral di sarana sosial. Sehingga mereka sanggup menjadi sasaran utama rekrutmen grup radikal yang mengembangkan jaringan, sebagai berikut Maraknya beragam ajaran sesat dan bidat yang memiliki aliran-aliran sesat, seperti Gnostik, Mormonisme, Christian Science, Saksi Yehova dan sebagainya. Hal ini bertentangan bersama peringatan Yesus pada murid-muridNya Matius 243-14; 1 Timotius oneiii; Roma 1617 Penganiayaan pada orang-orang Kristen dianggap sebagai antisosial dan penyebab kerusuhan. Seperti yang dikisahkan berkenaan penganaiyaan pada Stefanus martir Kristen dan sejumlah jemaat Yerusalem Kisah Para Rasul 754-83. Manusia yang tambah pintar dan hidup jadi seakan-akan tidak ulang perlu Tuhan. Hal ini bertentangan bersama tekad Allah Roma 1216 “tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!”. Kehampaan hidup seringkali terjadi, meski diisi bersama beragam kecanggihan peradaban dunia. Contohnya adalah banyak gereja mencerminkan dunia bersama secara pragmatis menghalalkan segala cara. Hal berikut bertentangan bersama jemaat di Sardis udah menjaga reputasi mereka bersama langkah kompromi Wahyu threefour-half dozen. 2. Tantangan Internal Perpecahan gereja karena persoalan uang, beda penafsiran, perbedaan keperluan grup dan sebagainya 1 Korintus three 3. Perpecahan harus berjalan untuk menyaksikan siapakah yang tahan uji. Tetapi, jangan hingga kitalah yang menjadi sumber perpecahan itu. Kita harus ingat memang Yesus tidak berharap perpecahan Matius 1225. iii. Tantangan Individualisme Kadang manusia sangat sibuk dengan dunianya, contohnya adalah generasi milenial sering tergantung pada dunia maya. Sehingga gadget sudah menjadi berhala’ jenis baru. Terlihat berasal dari tiap-tiap jemaat jarang mempunyai printed bible karena Alkitabnya udah menjadi digital bible di HP atau Ipad. Bahkan lebih menyedihkan selama kebaktian berlangsung, mereka selamanya bermain sarana sosial, seperti Facebook, Instagram, dan sebagainya. Inilah permulaan hedonisme dan materialisme yang sering dijalankan oleh orang Kristen Yakobus 41-56; 1 Yohanes 2 15-17. Tidak tersedia kasih persaudaraan yang pengaruhi kompetisi individu apalagi antar bangsa. Contohnya adalah perzinahan dan perceraian. Banyak yang tidak pikirkan pada sesama dan tidak berkomitmen untuk memprioritaskan Alkitab sebagai pedoman utama di dalam hidup mereka. Cara Melakukan Transformasi Hati Kita sebagai anak Tuhan harus jalankan transformasi hati yang cocok bersama pandangan John Stott yang berisi “The heart of man gangguan is the gangguan of the homo eye”. Caranya untuk jalankan transformasi hati, diantaranya Perlu kerelaan hati untuk ulang dibentuk oleh Tuhan walau prosesnya tidak mudah. Kita harus berdiam diri di hadapan Tuhan untuk berharap Tuhan mengubah hati kita. Meskipun kita sebagai gereja memiliki cacatnya, tetapi kita akan dibentuk ulang oleh Roh Kudus pada selagi kita berkunjung kepada Tuhan. Harus mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun Roma 1419. Memberitakan Injil kepada siapa saja yang belum percaya. Memberitakan Injl adalah sebuah keharusan dan kewajiban bagi orang percaya untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk kemegahan diri 1 Korintus 916 supaya kita sanggup tahu maksud dan rencana Tuhan Matius 28 19. Harus bersatu dan sehati sepikir bersama pelayan – pelayan yang lain one Korintus 1ten-17; i Korintus 3nine. Tetapi pergunakanlah karunia yang tersedia pada kita untuk membangun tubuh kristus. Untuk membangun jemaat, kita adalah tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya 1 Korintus 1227; Efesus 530; 2 Timotius 224. Gereja harus tidak dulu jenuh untuk konsisten mengingatkan jemaatnya di mana tiap-tiap manuasi harus berperilaku yang benar atas gadget, yaitu secara regular dan indah jikalau kita menghalau gadget dan berkomunikasi verbal bersama keluarga kita di rumah atau bersama sesama di area lain. Walaupun susah dan tantangan yang sering dihadapi, kita harus selamanya setia mobilisasi perintah-Nya bersama memiliki hati yang peka pada sesama dan memiliki jiwa yang tulus supaya siapa saja ingin bertobat dan diselamatkan lantas meraih keselamatan, yang merupakan anugerah Tuhan Yohanes iii16; 1 Timotius iiiv; 2 Petrus 3nine. Akhir Kata Demikian ulasan pembahasan tentang tantangan gereja pada masa kini. Mudah-mudahan kita bisa memahaminya sekaligus mengantisipasinya dalam kehidupan bergereja sehari-hari. Baca Pengertian Ajaran Kristen Appearance Sejarah Gereja Appearance Masuk Republic of indonesia Tanggung Jawab Suami ke Istri dalam Kristen keyakinaniman klasik sebagaimana yang disuarakan oleh augustinus memberi jawaban demikian: gereja di mana kini harus menampilkan diri sebagai komunitas yang bekerja dalam kata dan perbuatan untuk
Semenjak zaman rasul-rasul dan jemaat mula-mula, Gereja mengalami perubahan dan saat memasuki zaman Reformasi spirit gereja terus dipertahankan dan mengalami banyak tekanan dan pengaruh, setelah era reformasi gereja memasuki tantangan baru dan gereja harus berjuang mempertahankan nilai-nilai kebenaran di era modern. Beberapa perbedaan gereja mula-mula dan gereja modern, memberi gambaran kepada kita bahwa gereja sedang mengalami pergeseran nilai-nilai yang murni yang diwariskan oleh Para Rasul sesuai pesan Sang Kepala Gereja Yesus Kristus. Beberapa perbedaan dapat dirangkum sebagai berikutLokasi Gedung IbadahUkuran Besar, hubungan renggangHubungan Jauh, cenderung tidak saling kenal dan acuhAda Masalah Cari pendeta/Gembala SidangCara Hidup Individu, perseoranganPusat Kebaktian atau ibadah di gedung ibadah, dan aktif mengikuti program yang adaKehidupan Doa Pilihan pribadi, terbatasPenginjilan Penjangkauan keluar oleh orang-orang khusus, melalui program-program khususPemuridan Kelas, buku bacaan & catatan, sedikit teladan, transfer pengetahuanKepemimpinan Gembala Sidang, kepemimpinan tunggalTugas Pemimpin Memimpin program kerja, menyampaikan khotbah dengan baik, mendoakan jemaat, visitasi dllKeuangan Persembahan & Perpuluhan dari anggotaPengajaran Menekankan pengajaran atau kepercayaan khusus dari denominasi tersebut. Disampaikan oleh “orang tertentu”Gaya Pengajaran Statis, berpusat pada khotbah atau pengajaran satu arahKarunia Rohani Kurang berperan. Hanya dilakukan oleh orang tertentuHarapan Pada Anggota Setia hadir pada tiap program, memberi perpuluhan, masuk kelas pemuridan, aktif membantu “pelayanan”, membawa banyak orang ke “gereja”Perspektif Ibadah raya sebagai titik fokusKata Kunci Jadilah anggota “gereja”, datang bertumbuhlah bersama kamiMisi Mengutus utusan Injil, profesional dan sudah terlatih. Komitmen Memperluas institusi atau denominasi, keseragamanSpiritualitas Kristen cek-list, ketaatan pada agama/hukum, pemisahan antara kehidupan rohani dan sekulerGereja Mula-MulaLokasi Di rumah-rumahUkuran Kecil, hubungan akrabHubungan Dekat, transparan, saling peduliAda Masalah Saling menasehati dan membangun satu dengan yang lainCara Hidup Komunitas, kebersamaanPusat Ketaatan sebagai pelaku Firman Tuhan setiap waktu yang dimulai di rumah atau keluargaKehidupan Doa Penekanan yang kuatPenginjilan Pergi ke tetangga, saudara, teman dan masyarakat menjadi “kabar baik” dan bermultiplikasi secara alamiPemuridan “Mulut ke telinga”, teladan hidup, transfer pengetahuan dan Kepenatuaan, kepemimpinan jamakTugas Pemimpin Memperlengkapi jemaat untuk melakukan pekerjaan Tuhan bersama-samaKeuangan Membagi apa yang mereka miliki, jemaat mau saling berkorban bila ada sebuah kebutuhanPengajaran Mempelajari & mengaplikasikan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Setiap jemaat dapat saling belajar dan Pengajaran Kinetis, ada dialog dan tanya-jawabKarunia Rohani Dipraktekkan secara teratur oleh semua orang percaya untuk saling membangunHarapan Pada Anggota Menjadi “gereja” dimana saja, membawa “gereja” dalam masyarakat, melayani orang lain, menjadi terang dan garam di dunia, menjadi alat transformasi bagi kotanyaPerspektif Jemaat yang bertemu di rumah sebagai titik fokusKata Kunci Jadilah murid Kristus, pergi dan jadikan semua bangsa murid KristusMisi Gereja mengutus dirinya sendiri untuk bermultiplikasi, jemaat menyadari semua terlibat misi dari TuhanKomitmen Memperluas Kerajaan Allah, bergerak bersama tubuh Kristus yang ada tanpa memandang “organisasinya”.Spiritualitas Menjadi “gereja”, taat karena mengasihi Tuhan, kehidupan rohani maupun sekuler manunggal

Berikutini 12 point perbedaan agama Kristen Katolik Roma dan Kristen Protestan baik secara ritual peribadatan ataupun keyakinan yang dianut. 1. Agama Kristen Katolik Roma mengakui Paus sebagai Pemimpin tertinggi Gereja di dunia, -Agama Kristen Protestan tidak mengakui Paus. Ini adalah perbedaan paling utama antara Agama Kristen Protestan dan

Kini gereja juga senantiasa mengajak umatnya untuk membentuk MaknaTeologis Konsep "Oikumene" Menurut Yohanes 17:1-26 dan Aplikasinya Bagi Gereja Masa Kini. Abstract The church has an important role in a movement for the gospel of Jesus Christ. "Kesatuan Dan Perbedaan Dalam Gereja Perdana." Indonesian Journal of Theology 2, no. 2 (2015): 179-205. Condro, Kuncoro. "Nubuatan Tentang Mesias
\n \n\n perbedaan gereja perdana dan gereja masa kini

GerejaPerdana. Dengan menyertakan ayat 22, kiranya Gereja kalian mau menyampaikan sapaan baik bagi kawanan domba maupun bagi mereka yang bertugas memelihara kesejahteraan mereka. Bagi umat dan para pemimpin umat. Dengan gambaran itu, sebenarnya juga diberikan ruang bagi dimensi "keibuan" dari para pemimpin, bukan saya "kebapaaan" mereka.

\n \n \nperbedaan gereja perdana dan gereja masa kini

GerejaMula-Mula: Lokasi: Di rumah-rumah. Ukuran: Kecil, hubungan akrab. Hubungan: Dekat, transparan, saling peduli. Ada Masalah: Saling menasehati dan membangun satu dengan yang lain. Cara Hidup: Komunitas, kebersamaan. Pusat: Ketaatan sebagai pelaku Firman Tuhan setiap waktu yang dimulai di rumah atau keluarga.

.